Kamis, 16 Maret 2017

tugas modul gizi kelompok 6

MODUL GIZI
KELOMPOK 6:
Erta Aninda
Delvia Fara
Ony Chandra
M. Muhaimin
Hanif Fauzan
Nanda Faiza A
Meirista Devi


















SUB BAHASAN
1.      Kurang Kalori Protein (KKP)
2.      Anemia Gizi Besi
3.      Kurang Vitamin A
4.      Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
5.      Cacingan
6.      Makanan Per Enteral
7.      Makanan Parenteral



















1.      Kurang Kalori Protein
A.    Definisi
Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang kurang mendapat masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan kalori dan protein kurang dalam waktu yang cukup lama (Ngastiyah, 1997).
Kurang kalori protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan gizi yang dikarenakan adanya defisiensi kalori dan protein dengan tekanan yang bervariasi pada defisiensi protein maupun energi (Sediatoema, 1999).
B.     Klasifikasi Kurang Kalori Protein
Berdasarkan berat dan tidaknya, KKP dibagi menjadi:
·         KKP ringan/sedang disebut juga sebagai gizi kurang (undernutrition) ditandai oleh adanya hambatan pertumbuhan.
·         KKP berat, meliputi: Kwashiorkor, marasmus, marasmik-kwashiorkor.
1.    Kwashiorkor
a. Pengertian
Adalah bentuk kekurangan kalori protein yang berat, yang amat sering terjadi pada anak kecil umur 1 dan 3 tahun (Jelliffe, 1994).
Kwashiorkor adalah suatu sindroma klinik yang timbul sebagai suatu akibat adanya kekurangan protein yang parah dan pemasukan kalori yang kurang dari yang dibutuhkan (Behrman dan Vaughan, 1994).
Kwashiorkor adalah penyakit gangguan metabolik dan perubahan sel yang menyebabkan perlemahan hati yang disebabkan karena kekurangan asupan kalori dan protein dalam waktu yang lama (Ngastiyah, 1997).
b. Etiologi
Penyebab utama dari kwashiorkor adalah makanan yang sangat sedikit mengandung protein (terutama protein hewani), kebiasaan memakan makanan berpati terus-menerus, kebiasaan makan sayuran yang mengandung karbohidrat.
Penyebab kwashiorkor yang lain yaitu:
·      Adanya pemberian makanan yang buruk yang mungkin diberikan oleh ibu karena alasan: miskin, kurang pengetahuan, dan adanya pendapat yang salah tentang makanan.
·      Adanya infeksi, misalnya:
-        Diare akan mengganggu penyerapan makanan.
-        Infeksi pernapasan (termasuk TBC dan batuk rejan) yang menambah  kebutuhan tubuh akan protein dan dapat mempengaruhi nafsu makan.
·      Kekurangan ASI.
c. Manifestasi Klinik
Tanda-tanda Klinik kwashiorkor berbeda pada masing-masing anak di berbagai negara, dan dibedakan menjadi 3, yaitu:
1.      Selalu ada
·         Gejala ini selalu ada dan seluruhnya membutuhkan diagnosa pada anak umur 1-3 tahun karena kemungkinan telah mendapat makanan yang mengandung banyak karbohidrat.
·         Kegagalan pertumbuhan.
·         Oedema pada tungkai bawah dan kaki, tangan, punggung bawah, kadang-kadang muka.
·         Otot-otot menyusut tetapi lemak di bawah kulit disimpan.
·         Kesengsaraan: Sukar diukur, dengan gejala awal anak menjadi rewel diikuti dengan perhatian yang kurang.
2.      Biasanya ada
Satu atau lebih dari tanda ini biasanya muncul, tetapi tidak satupun yang betul-betul memerlukan diagnosis.
·      Perubahan rambut : Warnanya lebih muda (coklat, kemerah-merahan, mendekati putih), lurus, jarang halus, mudah lepas bila ditarik.
·      Warna kulit lebih muda
·      Tinja lebih encer : Akibat gangguan penyerapan makanan, terutama gula.
·      Anemia yang tidak berat : Jika berat biasanya ada kemungkinan infeksi cacing atau malaria.
3.      Kadang-kadang ada
Satu atau lebih dari gejala berikut kadang-kadang muncul, tetapi tidak ada satupun yang betul-betul membentuk diagnosis.
·      Ruam/bercak-bercak berserpih.
·      Ulkus dan retakan.
·      Tanda-tanda vitamin: Misalnya luka di sudut mulut, lidah berwarna merah terang karena kekurangan riboflavin.
·      Pembesaran hati
(Menurut Jelliffe, 1994)
Tanda-tanda yang lain yaitu:
·      Secara umum anak nampak sembab, letargik, cengeng, dan mudah terserang. Pada tahap lanjut anak menjadi apatik, sopor atau koma.
·      Pertumbuhan yang terhambat, berat badan dan tinggi badan lebih rendah dibandingkan dengan berat badan baku. Jika ada edema anasarka maka penurunan berat badan tidak begitu mencolok.
·      Edema
·      Jaringan otot mengecil dengan tonusnya yang menurun, jaringan subkutan tipis dan lembek.
·      Kelainan gastrointestinal yang mencolok adalah anoreksia dan diare.
·      Rambut berwarna pirang, berstruktur kasar dan kaku, serta mudah dicabut.
·      Kelainan kulit: kering, bersisik dengan garus-garis kulit yang dalam dan lebar, disertai denitamin B kompleks, defisiensi eritropoetin dan kerusakan hati.
·      Anak mudah terjangkit infeksi akibat defisiensi imunologik (diare, bronkopneumonia, faringotonsilitis, tuberkulosis).
·      Defisiensi vitamin dan mineral.
·      Defisiensi vitamin A, riboflavin (stomatitis angularis), anemia defisiensi besi dan anemia megaloblastik.
(Markum, AH, 1999)
2. Marasmus
a. Pengertian
Marasmus adalah penyakit yang timbul karena kekurangan energi (kalori) sedangkan kebutuhan protein relatif cukup (Ngastiyah, 1997).
Marasmus merupakan gambaran KKP dengan defisiensi energi yang ekstrem (Sediaoetama, 1999).
b.    Etiologi
Penyebab marasmus yang paling utama adalah karena kelaparan. Kelaparan biasanya terjadi pada kegagalan menyusui, kelaparan karena pengobatan, kegagalan memberikan makanan tambahan.
Tanda-tanda marasmus dibedakan menjadi 2, yaitu:
1.    Selalu ada
Tanda-tanda ini selalu ada dan seluruhnya membutuhkan diagnosa:
– Gangguan perkembangan
– Hilangnya lemak di otot dan di bawah kulit.
2.    Kadang-kadang ada
– Mencret/diare atau konstipasi.
– Perubahan pada rambut, seperti pada kwashiorkor.
– Tanda-tanda dari defisiensi vitamin.
– Dehidrasi.
(Jelliffe, 1994)
3. Marasmik – Kwashiorkor
a. Pengertian
Marasmik – kwashiorkor merupakan kelainan gizi yang menunjukkan gejala klinis campuran antara marasmus dan kwashiorkor. (Markum, 1996)
Marasmik – kwashiorkor merupakan malnutrisi pada pasien yang telah mengalami kehilangan berat badan lebih dari 10%, penurunan cadangan lemak dan protein serta kemunduran fungsi fisiologi. (Graham L. Hill, 2000).
C. Etiologi
Penyebab langsung dari KKP adalah defisiensi kalori protein dengan berbagai tekanan, sehingga terjadi spektrum gejala-gejala dengan berbagai nuansa dan melahirkan klasifikasi klinik (kwashiorkor, marasmus, marasmus kwashiorkor).
Penyebab tak langsung dari KKP sangat banyak sehingga penyakit ini disebut sebagai penyakit dengan causa multifactoral.
Berikut ini merupakan sistem holistik penyebab multifactoral menuju ke arah terjadinya KKP.
Ekonomi negara rendah
Pendidikan umum kurang
Produksi bahan pangan rendah
Hygiene rendah
Pekerjaan rendah
Pasca panen kurang baik
Sistem perdagangan dan distribusi tidak lancar
Daya beli rendah
Persediaan pangan kurang
Penyakit infeksi dan investasi cacing
Konsumsi kurang
Absorpsi terganggu
Utilisasi terganggu
K K P
Pengetahuan gizi kurang
Anak terlalu banyak
Kwashiorkor Marasmus
Marasmic – kwashiorkor
(Sediaoetoma, A. Djaeni, 1999)

D.  Manifestasi Klinik
Tanda-tanda dari KKP dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1. KKP Ringan
– Pertumbuhan linear terganggu.
– Peningkatan berat badan berkurang, terhenti, bahkan turun.
– Ukuran lingkar lengan atas menurun.
– Maturasi tulang terlambat.
– Ratio berat terhadap tinggi normal atau cenderung menurun.
– Anemia ringan atau pucat.
– Aktifitas berkurang.
– Kelainan kulit (kering, kusam).
– Rambut kemerahan.
2.    KKP Berat
– Gangguan pertumbuhan.
– Mudah sakit.
– Kurang cerdas.
– Jika berkelanjutan menimbulkan kematian
(Pudjiadi, 1990)
E. Epidemiologi
Penyakit KKP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak dibawah umur 5 tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hasil penyelidikan di 254 desa di seluruh Indonesia, Tarwotjo, dkk (1999), memperkirakan bahwa 30 % atau 9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi buruk. Berdasarkan “Rekapitulasi Data Dasar Desa Baru UPGK 1982/1983” menunjukkan bahwa prevalensi penderita KKP di Indonesia belum menurun. Hasil pengukuran secara antropometri pada anak-anak balita dari 642 desa menunjukkan angka-angka sebagai berikut: diantara 119.463 anak balita yang diukur, terdapat status gizi baik 57,1%, gizi kurang 35,9%, dan gizi buruk 5,9%.
Tingginya prevalensi penyakit KKP disebabkan pula oleh faktor tingginya angka kelahiran. Menurun Morley (1968) dalam studinya di Nigeria, insidensi kwashiorkor meninggi pada keluarga dengan 7 anak atau lebih. Studi lapangan yang dilakukan oleh Gopalan (1964) pada 1400 anak prasekolah menunjukkan bahwa 32% diantara anak-anak yang dilahirkan sebagai anak keempat dan berikutnya memperlihatkan tanda-tanda KKP yang jelas, sedangkan anak-anak yang dilahirkan terlebih dahulu hanya 17% memperlihatkan gejala KKP. Ia berkesimpulan bahwa 62% dari semua kasus kekurangan gizi pada anak prasekolah terdapat pada anak-anak keempat dan berikutnya.
Mortalitas KKP berat dimana-mana dilaporkan tinggi. Hasil penyelidikan yang dilakukan pada tahun 1955/1956 (Poey, 1957) menunjukkan angka kematian sebanyak 55%, 35% diantara mereka meninggal dalam perawatan minggu pertama, dan 20% sesudahnya.
Menurut WHO, 150 juga anak berumur di bawah 5 tahun menderita KKP dan 49% dari 10,4 juga anak berumur di bawah 5 tahun meninggal karena KKP yang kebanyakan terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.

F. Komplikasi
1. Defisiensi vitamin A (xerophtalmia)
Vitamin A berfungsi pada penglihatan (membantu regenerasi visual purple bila mata terkena cahaya).
Jika tidak segera teratasi ini akan berlanjut menjadi keratomalasia (menjadi buta).
2. Defisiensi Vitamin B1 (tiamin) disebut Atiaminosis.
Tiamin berfungsi sebagai ko-enzim dalam metabolisme karbohidrat. Defisiensi vitamin B1 menyebabkan penyakit beri-beri dan mengakibatkan kelainan saraf, mental dan jantung.
3. Defisiensi Vitamin B2 (Ariboflavinosis)
Vitamin B2/riboflavin berfungsi sebagai ko-enzim pernapasan. Kekurangan vitamin B2 menyebabkan stomatitis angularis (retak-retak pada sudut mulut, glositis, kelainan kulit dan mata.
4. Defisiensi vitamin B6 yang berperan dalam fungsi saraf.
5. Defisiensi Vitamin B12
Dianggap sebagai faktor anti anemia dalam faktor ekstrinsik. Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan anemia pernisiosa.
6. Defisit Asam Folat
Menyebabkan timbulnya anemia makrositik, megaloblastik, granulositopenia, trombositopenia.
7. Defisiensi Vitamin C
Menyebabkan skorbut (scurvy), mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C diperlukan untuk pembentukan jaringan kolagen oleh fibroblas karena merupakan bagian dalam pembentukan zat intersel, pada proses pematangan eritrosit, pembentukan tulang dan dentin.
8. Defisiensi Mineral seperti Kalsium, Fosfor, Magnesium, Besi, Yodium
Kekurangan yodium dapat menyebabkan gondok (goiter) yang dapat merugikan tumbuh kembang anak.
9. Tuberkulosis paru dan bronkopneumonia.
10. Noma sebagai komplikasi pada KEP berat
Noma atau stomatitis merupakan pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif sehingga dapat menembus pipi, bibir dan dagu. Noma terjadi bila daya tahan tubuh sedang menurun. Bau busuk yang khas merupakan tanda khas pada gejala ini.

2. Anemia Gizi Besi
A. Definisi
Anemia merupakan  suatu keadaan kadar hemoglobin  (Hb) di dalam darah yang lebih rendah dari nilai normal. Nilai normal Hb seperti yang tercantum dalam SK Menkes RI No. 736a/Menkes/XI/1989, sebagai berikut.
Hb laki-laki dewasa : >13 g/dl
Hb perempuan dewasa : >12 g/dl
Hb anak-anak : >11 g/dl
Hb ibu hamil : >11 g/dl   (Riskesdas 2007) 
Anemia gizi besi merupakan anemia yang disebabkan karena kurangnya supply zat besi di dalam sumsum tulang di mana sel darah merah  dibentuk. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya asupan zat besi dan bertambahnya kehilangan zat besi dari tubuh (Uthman 1998). Selain itu juga karena  bertambahnya kebutuhan dan berkurangnya penyerapan. Masing-masing penyebab tersebut dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Anemia gizi besi dapat menimbulkan berbagai dampak. Anemia pada balita dan anak dapat menyebabkan kegagalan perkembangan fisik dan kognitif, serta meningkatkan resiko morbiditas. Pada dewasa anemia dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas. Anemia juga berkontribusi terhadap 20% kematian maternal (WHO 2011). Selain itu, anemia menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh dan gangguan penyembuhan luka (Almatsier 2006).


B. Etiologi
Tabel Penyebab anemia gizi besi
Kebutuhan zat besi meningkat
Berkurangnya intake zat besi
Pertumbuhan pada bayi dan anak
Status sosial ekonomi yang rendah
Wanita yang sedang menstruasi
Vegetarian
Kehamilan
Diet tidak seimbang atau intake yang kurang
Menyusui
Alkoholism
Proses kelahiran
Usia lanjut
Etnik dengan resiko tinggi (Indo-canada)
Bertambahnya kehilangan zat besi
Berkurangnya penyerapan zat besi
Menstruasi
Pendarahan pada gastrointestinal
Donor darah secara teratur
PPasien dengan kehilangan darah secara signifikan
Hematuria
PParasit intestinal (berasal dari daerah endemik)
Hemoglobinuria
Olahraga fisik ekstrim (atlet ketahanan)
Patologi (anemia hemolitik)
FFaktor diet (tannin, fitat dalam serat, kalsium dalam susu, the, kopi, minuman berkarbonasi)
Patologi saluran pencernaan atas:
-       Gastritis kronis
-       Gastric  Lymphoma
-       Celiac disease
-       Crohn’s disease
P Pengobatan yang mengurangi keasaman lambung atau yang mengikat besi
Gastrektomi
Patologi duodenal
Pasien gagal ginjal kroni

C. Manifestasi Klinis
Gejala anemia diantaranya adalah lemas, letih, pusing, kurang nafsu makan, dan menurunnya kebugaran tubuh. Sedangkan tanda anemia adalah pucat pada  kulit, gusi, mata, dan kuku. Pada beberapa kasus yang berat terjadi  palpilasi  dan napas pendek (Ross 2000).
Akan tetapi defisiensi zat besi pada balita tidak menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi (Wahyuni 2004).
D. Patofisiologi
Anemia gizi besi dimulai dengan deplesi hemosiderin, ferritin, dan penyimpanan zat besi lainnya yang terdapat dalam sumsum tulang, hepar, dan limpa. Selanjutnya terjadi pengangkutan zat besi yang berkurang dan  menyebabkan penurunan saturasi transferin zat besi. Pada tahap selanjutnya terjadi defisit transportasi besi yang khas yang menghambat produksi Hb normal. Protoporfirin eritrosit meningkat, dan reseptor transferin menjadi lebih  banyak sebagai respon terhadap  keadaan zat besi yang buruk (William & Wilkins 2001).
Menipisnya  simpanan zat besi seiring dengan bertambahnya absorbsi  zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi.  Habisnya simpanan besi menyebabkan berkurangnya produksi sel darah merah. Eritrosit mengecil dan terjadi anemia gizi besi (Wirakusumah 1998 diacu dalam Arumsari 2008).
E. Pengobatan, Perawatan  Dan Pencegahan
Menurut WHO (2011), pencegahan  anemia dapat dilakukan dengan:
1.    Meningkatkan asupan  zat besi, dengan cara diet kaya besi, meningkatkan absorpsi besi dan suplementasi zat besi.
2.    Mengontrol infeksi, dengan cara imunisasi dan mengontrol penyakit infeksi
3.    Meningkatkan status gizi, dengan cara mengontrol kekurangan zat gizi seperti vitamin B12, folat, dan vitamin A.
Pengobatan anemia dapat dilakukan dengan:
1.    Diet kaya besi
2.    Suplemen besi oral
3.    Mengobati penyebab pendarahan abnormal jika diketahi (Corwin 2008).
Suplementasi besi oral dapat  menyebabkan mual, muntah, dispesia, konstipasi, diare, dan feses menjadi gelap. Strategi untuk meminimalisasi efek tersebut adalah pemberian dosis dimulai dari yang terendah dan ditingkatkan secara bertahap sampai 4-5 hari.  Suplemen besi juga bisa dikonsumsi bersama makanan (Guidelines & Protocols Advisory Committee of British Columbia 2010).
Obat dan suplemen bisa mengurangi absorpsi besi dalam tubuh. Absorpsi besi dapat ditingkatkan dengan memberikan suplemen besi pada saat lambung kosong (sekitar 1,5-2 jam setelah makan) disertai dengan jus atau vitamin C, tanpa multivitamin, kalsium dan tablet antasid (Guidelines & Protocols Advisory Committee of British Columbia 2010).

3.    Kurang Vitamin A (KVA)
1.      Definisi
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan masalah kesehatan utama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. KVA terutama sekali mempengaruhi anak kecil, diantara mereka yang mengalami defisiensi dapat mengalami xerophthalmia dan dapat berakhir menjadi kebutaan, pertumbuhan yang terbatas, pertahanan tubuh yang lemah, eksaserbasi infeksi serta meningkatkan resiko kematian. Hal ini menjadi nyata bahwa KVA dapat terus berlangsung mulai usia sekolah dan remaja hingga masuk ke usia dewasa (Keith dan West, 2008)
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan struktur kimianya disebut retinol atau retina atau disebut juga dengan asam retinoat, terdapat pada jaringan hewan dimana retinol 90-95% disimpan pada hati (Haryadi, 2009).
Kekurangan Vitamin A (KVA) adalahpenyakit yang disebabkanolehkurangnya asupan vitamin A yang memadai. Hal inidapatmenyebabkanrabunsenja,xeroftalmia danjikakekuranganberlangsungparahdanberkepanjanganakanmengakibatkankeratomalasia(Tadesse, Lisanu, 2005).
Sedangkan menurut Arisman tahun 2002, Kurang Vitamin A (KVA) merupakan penyakit sistemik yang merusak sel dan organ tubuh dan menghasilkan metaplasi keratinasi pada epitel, saluran nafas, saluran kencing dan saluran cerna. Penyakit Kurang Vitamin A (KVA) tersebar luas dan merupakan penyebab gangguan gizi yang sangat penting. Prevalensi KVA terdapat pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Sampai akhir tahun 1960-an KVA merupakan penyebab utama kebutaan pada anak.

2.      Fungsi Vitamin A
1. Penglihatan
Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Bila kita dari cahaya terang diluar kemudian memasuki ruangan yang remang-remang cahayanya, maka kecepatan mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang berhubungan langsung dengan vitamin A yang tersedia didalam darah. Tanda pertama kekurangan vitamin A adalah rabun senja. Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki penglihatan yang kurang bila itu disebabkan karena kekurangan vitamin A (Melenotte et al., 2012).
2. Pertumbuhan dan Perkembangan
Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Pada anak–anak yang kekurangan vitamin A, terjadi kegagalan dalam pertumbuhannya.  Dimana vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat (TansuÄŸ N, et al., 2010).
3. Reproduksi
Pembentukan sperma pada hewan jantan serta pembentukan sel telur dan perkembangan janin dalam kandungan membutuhkan vitamin A  dalam bentuk retinol. Hewan betina dengan status vitamin A rendah mampu hamil akan tetapi mengalami keguguran atau kesukaran dalam melahirkan. Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga berpengaruh dalam pencegahan kanker kulit, tenggorokan, paru-paru, payudara dan kandung kemih (Knutson dan Dame, 2011).
4. Fungsi Kekebalan
Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia. Dimana kekurangan vitamin A dapat menurunkan respon antibody yang bergantung pada limfosit yang berperan sebagai kekebalan pada tubuh seseorang (Almatsier, 2008).
5.Perkembangan Jantung
Defek kardiak dan cabang aorta diamati sebagai bagian dari sindroma kekurangan vitamin A. singkat kata, peranan vitamin A dalam perkembangan jantung mamalia meliputi  pembentukan pipa pola jantung dan lingkaran, ruang dan katup saluran keluar, trabekulasi ventrikel, diferensiasi kardiomiosit dan pengembangan pembuluh koroner (Knutson dan Dame, 2011).
6. Perkembangan Ginjal dan Saluran Kencing
Kekurangan vitamin A pada kehamilan dapat berkorelasi dengan kekurangan jumlah nefron sub-klinis dan sedikit defisit nefron yang tidak disadari pada saat lahir, tapi mungkin bisa berkontribusi dalam jangka panjang terjadinya gagal ginjal dan hipertensi (Knutson dan Dame, 2011).
7. Diafragma
Fungsi diafragma sebagai otot utama respirasi dan sebagai pembatas antara rongga dada dan perut. Hernia diafragma kongenital (CDH) terjadi pada sekitar satu dari 3000 kelahiran, dan berhubungan dengan kematian neonatal yang tinggi. Vitamin A sangat penting bagi perkembangan diafragma normal, dan telah disimpulkan bahwa gangguan sinyal retinoid dapat berkontribusi pada etiologi dari gangguan manusia (Knutson dan Dame, 2011).
8. Paru dan Saluran Nafas Atas serta Aliran Udara
Defek Respirasi termasuk agenesis paru kiri, hypoplasia paru bilateral, dan agenesis esophagotracheal septum digambarkan dalam sindroma KVA awal namun dikarakteristikkan sebagai kelainan yang jarang terjadi. Paru berkembang dari foregut endoderm selama perekembangan awal embrio. RA dari mesoderm splanchnic di sekitar endoderm foregut telah penting ditemukan untuk pembentukan tunas paru primordial. Sebuah laporan terbaru di New England Journal of Medicine menunjukkan bahwa, di daerah endemik dengan defisiensi vitamin A (retinol), anak-anak yang ibunya menerima suplementasi vitamin A sebelum, selama, dan selama 6 bulan setelah kehamilan memiliki fungsi paru-paru yang lebih baik ketika mereka diuji pada 9 sampai 11 tahun daripada anak-anak yang ibunya menerima suplemen beta karoten atau plasebo. Selain itu, mereka menemukan bahwa periode di mana suplementasi dengan vitamin A yang paling penting adalah dari kehamilan usia postnatal dari 6 bulan (Knutson dan Dame, 2011).
3.      Penyebab Terjadinya Kekurangan Vitamin A
Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya cadangan vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya kadar serum vitamin A dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik bagi mata. Vitamin A diperlukan retina mata untuk pembentukan rodopsin dan pemeliharaan diferensiasi jaringan epitel. Gangguan gizi kurang vitamin A dijumpai pada anak-anak yang terkait dengan : kemiskinan, pendidikan rendah, kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro vitamin A (karoten), bayi tidak diberi kolostrum dan disapih lebih awal, pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin A. Pada anak yang mengalami kekurangan energi dan protein, kekurangan vitamin A terjadi selain karena kurangnya asupan vitamin A itu sendiri juga karena penyimpanan dan transpor vitamin A pada tubuh yang terganggu.
Kelompok umur yang terutama mudah mengalami kekurangan vitamin A adalah kelompok bayi usia 6-11 bulan dan kelompok anak balita usia 12-59 bulan (1-5 tahun). Sedangkan yang lebih berisiko menderita kekurangan vitamin A adalah bayi berat lahir rendah kurang dari 2,5 kg, anak yang tidak mendapat ASI eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2 tahun, anak yang tidak mendapat makanan pendamping ASI yang cukup, baik mutu maupun jumlahnya, anak kurang gizi atau di bawah garis merah pada KMS, anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare, TBC, pneumonia) dan kecacingan, anak dari keluarga miskin, anak yang tinggal di dareah dengan sumber vitamin A yang kurang, anak yang tidak pernah mendapat kapsul vitamin A dan imunisasi di posyandu maupun puskesmas, serta anak yang kurang/jarang makan makanan sumber vitamin A.
Terjadinya kekurangan vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor dalam hubungan yang kompleks seperti halnya dengan masalah kekurangan kalori protein (KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A biasanya juga rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antara hal-hal ini merupakan faktor penting dalam terjadinya kekurangan vitamin A. Kekurangan vitamin A bisa disebabkan seorang anak kesulitan mengonsumsi vitamin A dalam jumlah yang banyak, kurangnya pengetahuan orangtua tentang peran vitamin A dan kemiskinan. Sedangkan untuk mendapatkan pangan yang difortifikasi bukan hal yang mudah bagi penduduk yang miskin. Karena, harga pangan yang difortifikasi lebih mahal daripada pangan yang tidak difortifikasi.
Pembedahan pada usus atau pankreas juga akan memberikan efek kekurangan vitamin A. Bayi-bayi yang tidak mendapat ASI mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita kekurangan vitamin A , karena ASI merupakan sumber vitamin A yang baik. Kekurangan vitamin A sekunder dapat terjadi pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit hati, gangguan absorpsi karena kekurangan asam empedu (Suhardjo, 2002).
Penyebab lain KVA pada balita dikarenakan kurang makan sayuran dan buah-buahan berwarna serta kurang makanan lain sumber vitamin A seperti : daun singkong, bayam, tomat, kangkung, daun ubi jalar, wortel, daun pepaya, kecipir, daun sawi hijau, buncis, daun katu, pepaya, mangga, jeruk, jambu biji, telur ikan dan hati. Akibatnya menurun daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Depkes RI, 2005).
4.      Tanda-tanda dan Gejala Klinis Kekurangan Vitamin A
KVA adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain. Akan tetapi gambaran gangguan secara fisik dapat langsung terlihat oleh mata.Kelainan kulit pada umumnya terlihat pada tungkai baeah bagian depan dan lengan atas bagian belakang, kulit nampak kering dan bersisik. Kelainan ini selain diebabkan oleh KVA dapat juga disebabkan kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau KEP.
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang telah berlangsung lama. gejala tersebut akan lebih cepat muncul jika menderita penyaki campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO sebagai berikut :
1.      Buta senja = XN. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina. Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-remang setelah lama berada di cahaya yang terang. Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tidak dapat melihat lingkungan yang kurang cahaya.
2.      Xerosis konjunctiva = XI A. Selaput lendir mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
3.      Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B. Gejala XI B adalah tanda-tanda XI A ditambah dengan bercak bitot, yaitu bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama celah mata sisi luar. Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai penentuan prevalensi kurang vitamin A pada masyarakat. Dalam keadaan berat tanda-tanda pada XI B adalah, tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjunctiva, konjunctiva tampak menebal, berlipat dan berkerut.
4.      Xerosis kornea = X2. Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai kornea, kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
5.      Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B. Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea.Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-tahap awal xeroftalmia.
6.      Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea. Kornea tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.
7.      Xeroftalmia Fundus (XF). Tampak seperti cendolXN, XI A, XI B, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa hari bisa menjadi keratomalasia. X3A dan X3 B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi pada kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea.Prinsip dasar untuk mencegah xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan vitamin A yang cukup untuk tubuh serta mencegah penyakit infeksi. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum (Wardani, 2012).
5.      Akibat Kekurangan Vitamin A
Tubuh memerlukan asupan vitamin yang cukup sebagai zat pengatur dan memperlancar proses metabolisme dalam tubuh. Sebagai vitamin yang larut dalam lemak, vitamin A membangun sel-sel kulit dan memperbaiki sel-sel tubuh, menjaga dan melindungi mata, menjaga tubuh dari infeksi, serta menjaga pertumbuhan tulang dan gigi. Karena fungsi tersebut, vitamin A sangat bagus dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Vitamin A juga berperan dalam epitil, misalnya pada epitil saluran pencernaan dan pernapasan serta kulit. Vitamin A berkaitan erat dengan kesehatan mata. Vitamin A membantu dalam hal integritas atau ketahanan retina serta menyehatkan bola mata. Vitamin A fungsinya tak secara langsung mengobati penderita minus, tapi bisa menghambat minus. Kekurangan vitamin A menyebabkan mata tak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan cahaya yang masuk dalam retina. Sebagai konsekuensi awal terjadilah rabun senja, yaitu mata sulit melihat kala senja atau dapat juga terjadi saat memasuki ruangan gelap. Bila kekurangan vitamin A berkelanjutan maka anak akan mengalami xerophtalmia yang mengakibatkan kebutaan. Selain itu kekurangan vitamin A menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi bakteri dan virus. Tanpa vitamin A, sistem pertahanan tubuh akan hilang.Ini memicu tubuh rentan terserang penyakit.
Vitamin A bisa terserap dalam tubuh yang kondisinya baik. Anak usia balita sangat rentan kekurangan vitamin A karena kondisi tubuhnya rentan terhadap penyakit, seperti diare atau infeksi pencernaan. Untuk itu peran ibu sangat penting dalam menjaga ketahanan tubuh bayi yakni dengan memberikan ASI eksklusif, agar mempunyai ketahanan tubuh yang cukup.Kebutuhan vitamin A yang cukup dalam tubuh, dapat diketahui dengan cara menganalisis makanan yang dikonsumsi sehari-hari dan melihat kondisi tubuh. Jika tubuh anak sering terkena penyakit, seperti diare, busung lapar atau gangguan saluran pernapasan, maka secara otomatis, asupan vitamin A-nya kurang (Zulkarnaen, 2012).
Selain itu, dampak kekurangan Vitamin A bagi balita antara lain:
1.      Hemarolopia atau kotok ayam (rabun senja).
2.      Frinoderma, pembentukan epitelium kulit tangan dan kaki terganggu, sehingga kulit tangan dan kaki bersisik.
3.      Pendarahan pada selaput usus, ginjal dan paru-paru.
4.      Kerusakan pada bagian putih mata mengering dan kusam (Xerosis konjungtiva), bercak seperti busa pada bagian putih mata (bercak bitot), bagian kornea kering dan kusam (Xerosis kornea), sebagian hitam mata melunak ( Keratomalasia ), Seluruh kornea mata melunak seperti bubur (Ulserasi Kornea) dan Bola mata mengecil / mengempis (Xeroftahalmia Scars).
5.      Terhentinya proses pertumbuhan.
6.      Terganggunya pertumbuhan pada bayi.
7.      Mengakibatkan campak yang berat yang berkaitan dengan adanya komplikasi pada anak-anak serta menghambat penyembuhan. (Melenotte et al,2012)
Namun demikian perlu juga diperhatikan bahwa pemberian dosis Vitamin A yang terlalu tinggi  dalam waktu yang lama dapat menimbulkan akibat yang kurang baik antara lain:
1.      Hipervitaminosis A pada anak-anak dapat menimbulkan anak tersebut cengeng, pada sekitar tulang yang panjang membengkak, kulit kering dan gatal-gatal.
2.      Hipervitaminosis pada orang dewasa menimbulkan sakit kepala, mual-mual dan diare. (Sugiarno, 2010).
6.  Pencegahan dan Penanggulangan Kekurangan Vitamin A
Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meni ngkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit misalnya campak, diare, dan penyakit infeksi lain) (Depkes RI, 2009)
Pada ibu hamil dan menyusui, vitamin A berperan penting untuk memelihara kesehatan ibu selama masa kehamilan dan menyusui. Buta senja pada ibu menyusui, suatu kondisi yang kerap terjadi karena kurang vitamin A (KVA). Berhubungan erat pada kejadian anemia pada ibu, kekurangan berat badan, kurang gizi, meningkatnya resiko infeksi dan penyakit reproduksi, serta menurunkan kelangsungan hidup ibu hingga dua tahun setelah melahirkan (Dinkes Jateng, 2007)
Semua anak, walaupun mereka dilahirkan dari ibu yang berstatus gizi baik dan tinggal di Negara maju, terlahir dengan cadangan vitamin A yang terbatas dalam tubuhnya (hanya cukup memenuhi kebutuhan untuk sekitar dua minggu). Di Negara berkembang, pada bulan-bulan pertama kehidupannya, bayi sangat bergantung pada vitamin A yang terdapat dalam ASI. Oleh sebab itu, sangatlah penting bahwa ASI mengandung cukup vitamin A. Anak-anak yang sama sekali tidak mendapatkan ASI akan beresiko lebih tinggi terkena Xeropthalmia dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan ASI walau hanya dalam jangka waktu tertentu. Berbagai studi yang dilakukan mengenai vitamin A ibu nifas memperlihatkan hasil yang berbeda-beda.
Anak-anak usia enam bulan yang ibunya mendapatkan kapsul vitamin A setelah melahirkan, menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah kasus demam pada anak-anak tersebut dan waktu kesembuhan yang lebih cepat saat mereka terkena ISPA. Ibu hamil dan menyusui seperti halnya juga anak-anak, berisiko mengalami KVA karena pada masa tersebut ibu membutuhkan vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan produksi ASI.
Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui proses Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman. Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan konsumsi kapsul vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.
a.     Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis 100.000 SI (warna biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus.
b.    Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan dosis 200.000 SI (warna merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus.
c.  Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu kapsul vitamin A dosis 200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI (Depkes RI, 2009).
d.  Wanita hamil : suplemen vitamin A tidak direkomendasikan selama kehamilan sebagai bagian dari antenatal care rutin untuk mencegah maternal and infant morbidity dan mortality. Namun, pada daerah dimana terdapat masalah kesehatan publik yang berat yang berkaitan dengan kekurangan vitamin A, maka suplementasi  vitamin A direkomendasikan untuk mencegah rabun senja. Secara khusus, wanita hamil dapat mengkonsumsi hingga 10,000 IU vitamin A setiap harinya atau vitamin A hingga 25,000 IU setiap minggu. Suplementasi dapat dilanjutkan hingga 12 minggu selama kehamilan hingga melahirkan. Hal ini perlu ditekankan bahwa WHO mengidentifikasi populasi berisiko sebagai mereka yang prevalensi menderita rabun senja ≥5% pada wanita hamil atau  ≥5% pada anak – anak yang berusia 24–59 bulan.( McGuire, 2012)
e.     Ibu nifas: suplementasi vitamin A pada ibu nifas tidaklah direkomendasikan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas  pada ibu dan bayi. ( McGuire S. 2012)
          Kekurangan makan makanan bergizi yang berlarut-larut, selain membuat orang menjadi kurus juga kekurangan vitamin-vitamin, termasuk kekurangan vitamin A. penyakit usus yang menahun akan mengakibatkan penyerapan vitamin A dari usus terganggu. Untuk melakukan pengobatan harus berobat pada dokter dan biasanya dokter akan memberikan suntikan vitamin A setiap hari sampai gejalanya hilang. Untuk mencegah kekurangan vitamin A makanlah pepaya, wortel dan sayur-sayuran yang berwarna (Hassan, 2008).
     Program nasional pemberian suplemen vitamin A adalah upaya penting untuk mencegah kekurangan vitamin A di antara anak-anak Indonesia. Tujuan Program ini adalah untuk mendistribusikan kapsul vitamin A pada semua anak di seluruh wilayah Indonesia dua kali dalam satu tahun. Setiap Februari dan Agustus, kapsul vitamin A didistribusikan secara gratis kepada semua anak yang mengunjungi Posyandu dan Puskesmas. Vitamin A yang terdapat dalam kapsul tersebut cukup untuk membantu melindungi anak-anak dari timbulnya beberapa penyakit yang pada gilirannya akan membantu menyelamatkan penglihatan dan kehidupan mereka ( Maryam, 2010 ).
     Pemberian vitamin A akan memberikan perbaikan nyata dalam satu sampai dua minggu. Dianjurkan bila diagnosa defisiensi vitamin A ditegakkan maka berikan vitamin A 200.000 IU peroral dan pada hari kesatu dan kedua. Belum ada perbaikan maka diberikan obat yang sama pada hari ketiga. Biasanya diobati gangguan proteinkalori mal nutrisi dengan menambah vitamin A, sehingga perlu diberikan perbaikan gizi.

4.    Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
A.    Definisi
Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) adalah rangkaian efek kekurangan yodium pada tumbuh kembang manusia. Spektrum seluruhnya terdiri dari gondok dalam berbagai stadium, kretin endemik yang ditandai terutama oleh gangguan mental, gangguan pendengaran, gangguan pertumbuhan pada anak dan orang dewasa. (Supariasa, 2002).
B.     Etiologi
GAKY dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1.      Defisiensi Iodium dan  Iodium Excess
Defisiensi iodium merupakan sebab pokok terjadinya masalah GAKI.  Hal ini disebabkan karena kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi fisiologis terhadap kekurangan unsur iodium dalam makanan dan minuman yang dikonsumsinyaIodium Excess terjadi apabila iodium yang dikonsumsi cukup besar secara terus menerus, seperti yang dialami oleh masyarakat di Hokaido (Jepang) yang mengkonsumsi ganggang laut dalam jumlah yang besar.  Bila iodium dikonsumsi dalam dosis tinggi akan terjadi hambatan hormogenesis, khususnya iodinisasi tirosin dan proses coupling.
Lokasi (Geografis dan non geografis)
Faktor lokasi dapat berpengaruh terhadap kejadian GAKY, hal ini disebabkan kandungan yodium yang berbeda di setiap daerah. Penderita GAKY secara umum banyak ditemukan di daerah perbukitan atau dataran tinggi, karena yodium yang berada dilapisan tanah paling atas terkikis oleh banjir atau hujan dan berakibat tumbuh-tumbuhan, hewan dan air di wilayah ini mengandung yodium rendah bahkan tidak ada.
2.      Asupan Energi dan Protein
Gangguan akibat kekurangan yodium secara tidak langsung dapat disebabkan oleh asupan energi yang rendah, karena kebutuhan energi akan diambil dari asupan protein. Protein (albumin, globulin, prealbumin) merupakan alat transport hormon tiroid. Protein transport berfungsi mencegah hormon tiroid keluar dari sirkulasi dan sebagai cadangan hormon.
Dengan adanya defisiensi protein dapat berpengaruh terhadap berbagai tahap dalam sintesis hormon tiroid terutama tahap transportasi hormone (Djokomoelyanto, 1994).
3.      Pangan Goitrogenik
Zat goitrogenik adalah senyawa yang dapat mengganggu struktur dan fungsi hormon tiroid secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung zat goitrogenik menghambat uptake yodida anorganik oleh kelenjar tiroid. Seperti tiosianat dan isotiosianat menghambat proses tersebut karena berkompetisi dengan yodium.
Ada dua jenis zat goitrogenik yang berasal dari bahan pangan yaitu:
a.       Tiosianat terdapat dalam sayuran kobis, kembang kol, sawi,  rebung, ketela rambat dan jewawut, singkong
b.      Isotiosianat terdapat pada kobis.
Berdasarkan mekanis kerjanya, zat goitrogenik dipengaruhi oleh proses sintesis hormon dan kelenjar tiroid trhadap bahan – bahan goitrogenik. Bahan tersebut adalah:
a.       Kelompok tiosianat, dimana mekanisme kerjanya memperngaruhi transportasi yodium.
 Misalnya : rebung, ubi jalar.

b.      Kelompok tiroglikosid, dimana mekanisme kerjanya mempengaruhi oksidasi, organofikasi, dan coupling.
Misal: bawang merah, bawang putih, bassica dan yellow turnips.
c.       Kelompok akses iodida, dimana mekanisme kerjanya mempengaruhi protealisis, pelepasan, dan halogenasi misalnya gangguan asupan yodium lebih dari 2 gram sehari, akan menghambat sintesis dan pelepasan hormon (Djokomoelyanto, 1994).
4.      Genetik
Faktor genetik dalam hal ini merupakan variasi individual terhadap kejadian GAKY dan mempunyai kecenderungan untuk mengalami gangguan kelenjar tiroid. Faktor genetic banyak disebabkan karena keabnormalan fungsi faal kelenjar tiroid.
Penyebab genetic lain adalah sejumlah cact metabolic yang diturunkan, yang melukiskan kepentingan berbagai tahapan dalam biosintesis hormon tiroid. Cacat ini adalah cacat pada pengangkutan yodium, cacat pada iodinasi, cacat perangkaian, defisiensi deiodinasi, dan produksi protein teriodinasi yang abnormal.
C.     Perjalanan Penyakit
Gangguan karena kekurangan iodium tidak bergantung usia, seluruh usia dapat mengalami penyakit ini, mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua. Perjalanan penyakit ini termasuk lambat, karena dalam tubuh terdapat suatu sistem cadangan iodium yang dapat digunakan selama 2-3 bulan baru iodium itu akan habis (Guyton, 2008). Setelah cadangan iodium itu habis, barulah timbul manifestasi gangguan akibat kekurangan iodium misalnya pembesaran kelenjar tiroid. Awalnya kelenjar tiroid tidak besar dan tidak terlihat tetapi lama kelamaan perbesaran kelenjar tiroid semakin tampak. Pada tingkat ringan atau sedang, penyakit ini dapat diatasi dengan pemberian iodium. Apabila sudah parah dan dengan pemberian iodium tidak menunjukan perbaikan, maka perlu dilakukan tindak pembedahan(Guyton, 2008). Penyakit ini sangat kecil kemungkinan menyebabkan kematian, dampak yang paling mengganggu dari penyakit ini adalah bahwa penyakit ini dapat menurunkan tingkat kecerdasan dan produktivitas kerja seseorang yang berdampak pada sosial ekonomi seseorang yaitu meningkatnya kebodohan dan kemiskinan dalam masyarakat (Wiwanitkit, 2007).
D.    Daerah Endemik Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY)
Istilah gondok endemik/endemik gondok digunakan jika suatu daerah/wilayah ditemukan banyak penduduk dengan mengalami pembesaran. Kelenjar gondok. Bila > 10 % penduduk di suatu daerah menderita pembesarankelenjar gondok, maka daerah tersebut merupakan daerah endemik gondok.
1.      Daerah endemik gondok adalah suatu daerah / wilayah yang berdasarkan data Nasional dikategorikan sebagai gondok endemik berat.
2.      Daerah non endemik gondok adalah suatu daerah / wilayah yang berdasarkan data Nasional tidak dikategorikan sebagai gondok endemik berat. Klasifikasi daerah endemik gondok adalah sebagai berikut:
a.       Endemik Gondok Ringan : 10 - 19 % penduduknya mengalami pembesaran kelenjar gondok
b.      Endemik Gondok Sedang : 20 - 29 % penduduknya mengalami pembesaran kelenjar gondok
c.       Endemik Gondok Berat : > 30 % penduduknya mengalami pembesaran kelenjar gondok
Daerah yang banyak dijumpai penderita gondok adalah daerah-daerah yang terpencil, di gunung dan jauh dari laut. Secara geografis di derita oleh  penduduk yang mendiami 3 macam daerah, antara lain:
1.      Daerah pegunungan
2.      Daerah yang belum lama berselang ditutupi es
3.      Daerah dimana air minum penduduk bersumber dari batu kapur (Joko Moelyanto, 1990).
E.     Gejala Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY)
1.      Reterdasi mental
2.      Gangguan pendengaran
3.      Gangguan bicara
4.      Hipertiroid (Pembesaran Kelenjar Tiroid/Gondok)
5.      Kretinisme biasanya pada anak-anak
F.      Program Penanggulangan Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY)
Tujuan utama program penanggulangan GAKY :
1.    Menurunkan angka gondok total/TGR.
2.    Mencegah munculnya kasus kretin pd bayi baru lahir di daerah endemik sedang dan berat.
Dengan cara :
1.   Distribusi kapsul yodium pada kelompok sasaran yg berisiko.
2.   Peningkatan pengadaan garam beryodium.
3.   Pemantauan status yodium di masyarakat.
4.   Pemantapan koordinasi lintas sektor dan penguatan kelembagaan penanggulangan GAKY.

5.    Cacingan
A.    Definisi
Penyakit kecacingan erat hubungannya dengan kebiasaan hidup sehari-hari. Penyakit kecacingan biasanya tidak menyebabkan penyakit yang berat dan angka kematian tidak terlalu tinggi namun dalam keadaan kronis pada anak dapat menyebabkan kekurangan gizi yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pada tumbuh kembang anak. Khusus pada anak usia sekolah, keadaan ini akan mengakibatkan kemampuan mereka dalam mengikuti pelajaran akan menjadi berkurang (Safar, 2010).
Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanyabersarang dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan.
Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruhdunia, lebih banyak di temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa daerah tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 – 10 tahun sebagai host (penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi (Haryanti, E, 1993).
Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karenaaktivitas otot-otot ini. Jika otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat antelmintik, cacing akan dikeluarkan dengan pergerakan peristaltik normal. Tantular, K (1980) yang dikutip oleh Moersintowarti. (1992) mengemukakan bahwa 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa didalam usus manusia mampu mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap hari.Dari hal tersebut dapat diperkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi).
B.     Etiologi
1.      Umur
Umur balita terendah 1 tahun, tertinggi 4 tahun dengan rata-rata 2,76. Frekuensi terbanyak pada umur 3 tahun yaitu senbanyak 49,1%.
2.      Jenis Kelamin
Distribusi anak menurut jenis kelamin hampir berimbang walaupun lebih banyak anak laki- laki dari pada perempuan.
3.      Kebiasaan Mencuci Tangan
Mencuci tangan adalah aktifitas yang dilakukan sebelum makan, setelah bermain dan setelah BAB, berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak hanya 3,7% yang terbiasa melakukan kebiasaan mencucitangan.
4.      Kebiasaan Memakai Alas Kaki
Kebiasaaan memakai alas kaki adalah kebiasaan anak memakai sandal atau sepatu setiap bermain didalam dan diluar rumah. berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak hanya 1,9% yang terbiasa memakai alas kaki.
5.      Kebersihan Kuku
Kebersihan kuku aktifitas yangdilakukan dengan memangkas dan memotong kuku satu minggu sekali dan membersihkan sela-sela kuku setiap mencuci tangan. Berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak sebanyak 88,9% memiliki kuku kotor.
6.      Kebiasaan Bermain ditanah
Bermain ditanah adalah aktifitas fisik yang mengakibatkan tangan, kuku, kaki dan kulit kontak langsungdengan tanah,berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak sebanyak 98,1% terbiasa bermain ditanah.
7.      Kepemilikkan Jamban
Kepemilikkan jamban tempat untuk BAB bagi keluarga yangmerupakan milik keluarga yang memenuhi syarat kesehatan, berdasarkan hasil penelitian dari 54 keluarga sebanyak 94,4% memiliki jamban.
8.      Lantai Rumah
Lantai rumah mencakup bahan yang digunakan sebagai lantai rumah yang terbuat dari bahan yang kedap air. Berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak sebanyak 87% yang lantai rumahnya kedap air.
9.      Ketersediaan Air Bersih Mencakup kecukupan air yangmemenuhi syarat air bersih yaitu tidak berbau,berasa, dan tidak berwarnauntuk kebutuhan hidup sehari-hari Berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak 100% mempunyai ketersediaan air bersih.

C.     Patofisiologi
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides,jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari.
Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali,kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke osepagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglottis masuk kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus halus bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.
Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif.
MenurutMenurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif. Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidupbertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak terkena infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yanglain menjadi dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimana- mana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila makanan atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.
D.    Tanda dan  Gejala
Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,, prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)
E.     CARA PENCEGAHAN
1.      Berikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menggunakan fasilitas jamban yang memenuhi syarat kesehatan.
2.      Sediakan fasilitas yang cukup memadai untuk pembuangan kotoran yang layak dan cegah kontaminasi tanah pada daerah yang berdekatan langsung dengan rumah, terutama di tempat anak bermain.
3.      Di daerah pedesaan, buatlah jamban umum yang konstruksinya sedemikian rupa sehingga dapat mencegah penyebaran telur Ascaris melalui aliran air, angin, dan lain-lain. Kompos yang dibuat dari kotoran manusia untuk digunakan sebagai pupuk kemungkinan tidak membunuh semua telur.
4.      Dorong kebiasaan berperilaku higienis pada anak-anak, misalnya ajarkan mereka untuk mencuci tangan sebelum makan dan menjamah makanan.
5.      Di daerah endemis, jaga agar makanan selalu ditutup supaya tidak terkena debu dan kotoran. Makanan yang telah jatuh ke lantai jangan dimakan kecuali telah dicuci atau dipanaskan.
6.      Meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan kesehatan untuk  mencegah terjadinya pencemaran/kontaminasi tinja terhadap tanah, air, makanan dan pakan ternak dengan cara mencegah penggunaan air limbah untuk irigasi; anjurkan untuk memasak daging sapi atau daging babi secara sempurna.
7.      Lakukan diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita. Lakukan kewaspadaan enterik pada institusi dimana penghuninya diketahui ada menderita infeksi T. solium untuk mencegah terjadinya cysticercosis. Telur Taenia solium sudah infektif segera setelah keluar melalui tinja penderita dan dapat menyebabkan penyakit yang berat pada manusia. Perlu dilakukan tindakan tepat untuk mencegah reinfeksi dan untuk mencegah penularan kepada kontak.
8.      Daging sapi atau daging babi yang dibekukan pada suhu di bawah minus 5oC (23oF) selama lebih dari 4 hari dapat membunuh cysticerci. Radiasi dengan kekuatan 1 kGy sangat efektif.
9.      Pengawasan terhadap bangkai sapi atau bangkai babi hanya dapat mendeteksi sebagian dari bangkai yang terinfeksi; untuk dapat mencegah penularan harus dilakukan tindakan secara tegas untuk Membuang bangkai tersebut dengan cara yang aman, melakukan iradiasi atau memproses daging tersebut untuk dijadikan produk yang masak.
10.  Jauhkan ternak babi kontak dengan jamban dan kotoran manusia.

6.    Makanan Per Enteral
A.    Enteral Feeding
B.     Formula Enteral
C.     Nutrisi Enteral Sistem Delivery
D.    Alternatif Pemberian Rutin Fomula
7.    Makanan Parenteral
A.    Makanan Parenteral Nutrisi Klinik
B.     Sistem Pemberian Nutrisi Parenteral
C.     Dukungan Keluarga Pada Pemberian Makan Di Rumah




DAFTAR PUSTAKA
Pudjiadi, Solihin. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak, Edisi IV. Jakarta: FKUI.
Markum. 1996. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I. Jakarta: FKUI.
Ignatius,2008. http://www.KEKURANGAN KALORI PROTEIN _ IGNATIUS PURWO.blogspot.com.
Almatsier. 2006. Prinsip Ilmu Gizi. Jakarta : Erlangga
Mariyah, 2011. http://www.Super Nutrition-ANEMIA GIZI BESI.blogspot.com
Arisman. 2002. Gizi dalam daur kehiduan.Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Palembang. Proyek peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
Haeruddin, 2014. http://www.Makalah Kekurangan Vitamin A (KVA) _ Artikel Kesmas.blogspot.com
Bambang Wirjatmadi, Merryana Adriani. 2012, Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: kencana, cetakan peretama.

Amaliya,2015. http://www.makalah penyakit cacingan.blogspot.com