MODUL
GIZI
KELOMPOK
6:
Erta
Aninda
Delvia
Fara
Ony
Chandra
M.
Muhaimin
Hanif
Fauzan
Nanda
Faiza A
Meirista
Devi
SUB
BAHASAN
1. Kurang
Kalori Protein (KKP)
2. Anemia
Gizi Besi
3. Kurang
Vitamin A
4. Gangguan
Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
5. Cacingan
6. Makanan
Per Enteral
7. Makanan
Parenteral
1.
Kurang
Kalori Protein
A. Definisi
Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi
terjadi pada anak yang kurang mendapat masukan makanan yang cukup bergizi, atau
asupan kalori dan protein kurang dalam waktu yang cukup lama (Ngastiyah, 1997).
Kurang kalori protein (KKP) adalah
suatu penyakit gangguan gizi yang dikarenakan adanya defisiensi kalori dan
protein dengan tekanan yang bervariasi pada defisiensi protein maupun energi
(Sediatoema, 1999).
B.
Klasifikasi Kurang Kalori Protein
Berdasarkan
berat dan tidaknya, KKP dibagi menjadi:
·
KKP ringan/sedang disebut juga
sebagai gizi kurang (undernutrition) ditandai oleh adanya hambatan
pertumbuhan.
·
KKP berat, meliputi: Kwashiorkor, marasmus,
marasmik-kwashiorkor.
1.
Kwashiorkor
a. Pengertian
Adalah bentuk kekurangan kalori
protein yang berat, yang amat sering terjadi pada anak kecil umur 1 dan 3 tahun
(Jelliffe, 1994).
Kwashiorkor adalah suatu sindroma
klinik yang timbul sebagai suatu akibat adanya kekurangan protein yang parah
dan pemasukan kalori yang kurang dari yang dibutuhkan (Behrman dan Vaughan,
1994).
Kwashiorkor adalah penyakit gangguan
metabolik dan perubahan sel yang menyebabkan perlemahan hati yang disebabkan
karena kekurangan asupan kalori dan protein dalam waktu yang lama (Ngastiyah,
1997).
b. Etiologi
Penyebab utama dari kwashiorkor adalah
makanan yang sangat sedikit mengandung protein (terutama protein hewani),
kebiasaan memakan makanan berpati terus-menerus, kebiasaan makan sayuran yang
mengandung karbohidrat.
Penyebab kwashiorkor yang lain yaitu:
· Adanya
pemberian makanan yang buruk yang mungkin diberikan oleh ibu karena alasan:
miskin, kurang pengetahuan, dan adanya pendapat yang salah tentang makanan.
·
Adanya infeksi,
misalnya:
-
Diare akan mengganggu
penyerapan makanan.
-
Infeksi
pernapasan (termasuk TBC dan batuk rejan) yang menambah kebutuhan tubuh akan protein dan dapat
mempengaruhi nafsu makan.
·
Kekurangan ASI.
c. Manifestasi Klinik
Tanda-tanda Klinik kwashiorkor berbeda
pada masing-masing anak di berbagai negara, dan dibedakan menjadi 3, yaitu:
1.
Selalu ada
·
Gejala ini
selalu ada dan seluruhnya membutuhkan diagnosa pada anak umur 1-3 tahun karena
kemungkinan telah mendapat makanan yang mengandung banyak karbohidrat.
·
Kegagalan
pertumbuhan.
·
Oedema pada
tungkai bawah dan kaki, tangan, punggung bawah, kadang-kadang muka.
·
Otot-otot
menyusut tetapi lemak di bawah kulit disimpan.
·
Kesengsaraan: Sukar
diukur, dengan gejala awal anak menjadi rewel diikuti dengan perhatian yang
kurang.
2.
Biasanya ada
Satu atau lebih dari tanda ini biasanya muncul, tetapi tidak satupun yang
betul-betul memerlukan diagnosis.
·
Perubahan rambut : Warnanya
lebih muda (coklat, kemerah-merahan, mendekati putih), lurus, jarang halus,
mudah lepas bila ditarik.
·
Warna kulit lebih muda
·
Tinja lebih encer : Akibat
gangguan penyerapan makanan, terutama gula.
·
Anemia yang tidak berat : Jika
berat biasanya ada kemungkinan infeksi cacing atau malaria.
3.
Kadang-kadang ada
Satu atau lebih dari gejala berikut kadang-kadang muncul, tetapi tidak
ada satupun yang betul-betul membentuk diagnosis.
·
Ruam/bercak-bercak
berserpih.
·
Ulkus dan retakan.
·
Tanda-tanda vitamin: Misalnya
luka di sudut mulut, lidah berwarna merah terang karena kekurangan riboflavin.
·
Pembesaran hati
(Menurut Jelliffe, 1994)
Tanda-tanda yang lain yaitu:
·
Secara umum anak nampak
sembab, letargik, cengeng, dan mudah terserang. Pada tahap lanjut anak menjadi
apatik, sopor atau koma.
·
Pertumbuhan yang terhambat,
berat badan dan tinggi badan lebih rendah dibandingkan dengan berat badan baku.
Jika ada edema anasarka maka penurunan berat badan tidak begitu mencolok.
·
Edema
·
Jaringan otot mengecil
dengan tonusnya yang menurun, jaringan subkutan tipis dan lembek.
·
Kelainan gastrointestinal
yang mencolok adalah anoreksia dan diare.
·
Rambut berwarna pirang,
berstruktur kasar dan kaku, serta mudah dicabut.
·
Kelainan kulit: kering,
bersisik dengan garus-garis kulit yang dalam dan lebar, disertai denitamin B
kompleks, defisiensi eritropoetin dan kerusakan hati.
·
Anak mudah terjangkit
infeksi akibat defisiensi imunologik (diare, bronkopneumonia,
faringotonsilitis, tuberkulosis).
·
Defisiensi vitamin dan
mineral.
·
Defisiensi vitamin A,
riboflavin (stomatitis angularis), anemia defisiensi besi dan anemia
megaloblastik.
(Markum, AH, 1999)
2. Marasmus
a.
Pengertian
Marasmus adalah penyakit yang timbul karena
kekurangan energi (kalori) sedangkan kebutuhan protein relatif cukup
(Ngastiyah, 1997).
Marasmus merupakan gambaran KKP dengan defisiensi
energi yang ekstrem (Sediaoetama, 1999).
b. Etiologi
Penyebab marasmus yang paling utama adalah karena
kelaparan. Kelaparan biasanya terjadi pada kegagalan menyusui, kelaparan karena
pengobatan, kegagalan memberikan makanan tambahan.
Tanda-tanda marasmus dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Selalu ada
Tanda-tanda ini
selalu ada dan seluruhnya membutuhkan diagnosa:
– Gangguan perkembangan
– Hilangnya lemak di otot dan di bawah kulit.
2. Kadang-kadang ada
– Mencret/diare atau konstipasi.
– Perubahan pada rambut, seperti pada kwashiorkor.
– Tanda-tanda dari defisiensi vitamin.
– Dehidrasi.
(Jelliffe, 1994)
3. Marasmik – Kwashiorkor
a. Pengertian
Marasmik – kwashiorkor merupakan kelainan gizi yang menunjukkan gejala
klinis campuran antara marasmus dan kwashiorkor. (Markum, 1996)
Marasmik – kwashiorkor merupakan malnutrisi pada pasien yang telah
mengalami kehilangan berat badan lebih dari 10%, penurunan cadangan lemak dan
protein serta kemunduran fungsi fisiologi. (Graham L. Hill, 2000).
C. Etiologi
Penyebab langsung dari KKP adalah
defisiensi kalori protein dengan berbagai tekanan, sehingga terjadi spektrum
gejala-gejala dengan berbagai nuansa dan melahirkan klasifikasi klinik
(kwashiorkor, marasmus, marasmus kwashiorkor).
Penyebab tak langsung dari KKP sangat
banyak sehingga penyakit ini disebut sebagai penyakit dengan causa
multifactoral.
Berikut ini merupakan sistem holistik
penyebab multifactoral menuju ke arah terjadinya KKP.
Ekonomi
negara rendah
|
Pendidikan
umum kurang
|
Produksi
bahan pangan rendah
|
Hygiene rendah
|
Pekerjaan
rendah
|
Pasca
panen kurang baik
|
Sistem perdagangan dan distribusi tidak lancar
|
Daya
beli rendah
|
Persediaan
pangan kurang
|
Penyakit infeksi dan investasi cacing
|
Konsumsi
kurang
|
Absorpsi
terganggu
|
Utilisasi
terganggu
|
K
K P
|
Pengetahuan
gizi kurang
|
Anak
terlalu banyak
|
Kwashiorkor Marasmus
Marasmic – kwashiorkor
|
(Sediaoetoma, A. Djaeni, 1999)
D.
Manifestasi Klinik
Tanda-tanda
dari KKP dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1.
KKP Ringan
– Pertumbuhan linear terganggu.
– Peningkatan berat badan berkurang, terhenti,
bahkan turun.
– Ukuran lingkar lengan atas menurun.
– Maturasi tulang terlambat.
– Ratio berat terhadap tinggi normal atau cenderung
menurun.
– Anemia ringan atau pucat.
– Aktifitas berkurang.
– Kelainan kulit (kering, kusam).
– Rambut kemerahan.
2. KKP
Berat
–
Gangguan pertumbuhan.
–
Mudah sakit.
–
Kurang cerdas.
–
Jika berkelanjutan menimbulkan kematian
(Pudjiadi, 1990)
E.
Epidemiologi
Penyakit KKP merupakan bentuk malnutrisi
yang terdapat terutama pada anak-anak dibawah umur 5 tahun dan kebanyakan di
negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hasil penyelidikan di 254
desa di seluruh Indonesia, Tarwotjo, dkk (1999), memperkirakan bahwa 30 % atau
9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9
juta diantara anak-anak balita menderita gizi buruk. Berdasarkan “Rekapitulasi
Data Dasar Desa Baru UPGK 1982/1983” menunjukkan bahwa prevalensi penderita KKP
di Indonesia belum menurun. Hasil pengukuran secara antropometri pada anak-anak
balita dari 642 desa menunjukkan angka-angka sebagai berikut: diantara 119.463
anak balita yang diukur, terdapat status gizi baik 57,1%, gizi kurang 35,9%,
dan gizi buruk 5,9%.
Tingginya prevalensi penyakit KKP
disebabkan pula oleh faktor tingginya angka kelahiran. Menurun Morley (1968)
dalam studinya di Nigeria, insidensi kwashiorkor meninggi pada keluarga dengan
7 anak atau lebih. Studi lapangan yang dilakukan oleh Gopalan (1964) pada 1400
anak prasekolah menunjukkan bahwa 32% diantara anak-anak yang dilahirkan
sebagai anak keempat dan berikutnya memperlihatkan tanda-tanda KKP yang jelas,
sedangkan anak-anak yang dilahirkan terlebih dahulu hanya 17% memperlihatkan
gejala KKP. Ia berkesimpulan bahwa 62% dari semua kasus kekurangan gizi pada
anak prasekolah terdapat pada anak-anak keempat dan berikutnya.
Mortalitas KKP berat dimana-mana
dilaporkan tinggi. Hasil penyelidikan yang dilakukan pada tahun 1955/1956
(Poey, 1957) menunjukkan angka kematian sebanyak 55%, 35% diantara mereka
meninggal dalam perawatan minggu pertama, dan 20% sesudahnya.
Menurut WHO, 150 juga anak berumur di
bawah 5 tahun menderita KKP dan 49% dari 10,4 juga anak berumur di bawah 5
tahun meninggal karena KKP yang kebanyakan terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang.
F.
Komplikasi
1. Defisiensi vitamin A (xerophtalmia)
Vitamin
A berfungsi pada penglihatan (membantu regenerasi visual purple bila mata
terkena cahaya).
Jika
tidak segera teratasi ini akan berlanjut menjadi keratomalasia (menjadi buta).
2. Defisiensi Vitamin B1 (tiamin)
disebut Atiaminosis.
Tiamin
berfungsi sebagai ko-enzim dalam metabolisme karbohidrat. Defisiensi vitamin B1
menyebabkan penyakit beri-beri dan mengakibatkan kelainan saraf, mental dan
jantung.
3. Defisiensi Vitamin B2
(Ariboflavinosis)
Vitamin
B2/riboflavin berfungsi sebagai ko-enzim pernapasan. Kekurangan vitamin B2 menyebabkan
stomatitis angularis (retak-retak pada sudut mulut, glositis, kelainan kulit
dan mata.
4. Defisiensi vitamin B6 yang berperan
dalam fungsi saraf.
5. Defisiensi Vitamin B12
Dianggap
sebagai faktor anti anemia dalam faktor ekstrinsik. Kekurangan vitamin B12
dapat menyebabkan anemia pernisiosa.
6. Defisit Asam Folat
Menyebabkan
timbulnya anemia makrositik, megaloblastik, granulositopenia, trombositopenia.
7. Defisiensi Vitamin C
Menyebabkan
skorbut (scurvy), mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C diperlukan
untuk pembentukan jaringan kolagen oleh fibroblas karena merupakan bagian dalam
pembentukan zat intersel, pada proses pematangan eritrosit, pembentukan tulang
dan dentin.
8. Defisiensi Mineral seperti Kalsium,
Fosfor, Magnesium, Besi, Yodium
Kekurangan
yodium dapat menyebabkan gondok (goiter) yang dapat merugikan tumbuh kembang
anak.
9. Tuberkulosis paru dan
bronkopneumonia.
10. Noma sebagai komplikasi pada KEP
berat
Noma
atau stomatitis merupakan pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif
sehingga dapat menembus pipi, bibir dan dagu. Noma terjadi bila daya tahan
tubuh sedang menurun. Bau busuk yang khas merupakan tanda khas pada gejala ini.
2.
Anemia Gizi Besi
A. Definisi
Anemia merupakan suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam
darah yang lebih rendah dari nilai normal. Nilai normal Hb seperti yang
tercantum dalam SK Menkes RI No. 736a/Menkes/XI/1989, sebagai berikut.
Hb laki-laki
dewasa : >13 g/dl
Hb perempuan
dewasa : >12 g/dl
Hb anak-anak
: >11 g/dl
Hb ibu hamil
: >11 g/dl (Riskesdas 2007)
Anemia gizi besi merupakan anemia yang disebabkan karena kurangnya supply
zat besi di dalam sumsum tulang di mana sel darah merah dibentuk. Hal ini
dapat disebabkan karena kurangnya asupan zat besi dan bertambahnya kehilangan
zat besi dari tubuh (Uthman 1998). Selain itu juga karena bertambahnya
kebutuhan dan berkurangnya penyerapan. Masing-masing penyebab tersebut dapat
dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Anemia gizi besi dapat menimbulkan berbagai dampak.
Anemia pada balita dan anak dapat menyebabkan kegagalan perkembangan fisik dan
kognitif, serta meningkatkan resiko morbiditas. Pada dewasa anemia dapat
menyebabkan berkurangnya produktivitas. Anemia juga berkontribusi terhadap 20%
kematian maternal (WHO 2011). Selain itu, anemia menyebabkan menurunnya
kekebalan tubuh dan gangguan penyembuhan luka (Almatsier 2006).
B. Etiologi
Tabel Penyebab anemia gizi besi
Kebutuhan zat besi meningkat
|
Berkurangnya intake zat besi
|
Pertumbuhan
pada bayi dan anak
|
Status
sosial ekonomi yang rendah
|
Wanita
yang sedang menstruasi
|
Vegetarian
|
Kehamilan
|
Diet tidak
seimbang atau intake yang kurang
|
Menyusui
|
Alkoholism
|
Proses
kelahiran
|
Usia
lanjut
|
Etnik
dengan resiko tinggi (Indo-canada)
|
|
Bertambahnya kehilangan zat besi
|
Berkurangnya penyerapan zat besi
|
Menstruasi
Pendarahan
pada gastrointestinal
Donor
darah secara teratur
PPasien
dengan kehilangan darah secara signifikan
Hematuria
PParasit
intestinal (berasal dari daerah endemik)
Hemoglobinuria
Olahraga
fisik ekstrim (atlet ketahanan)
Patologi
(anemia hemolitik)
|
FFaktor
diet (tannin, fitat dalam serat, kalsium dalam susu, the, kopi, minuman
berkarbonasi)
Patologi
saluran pencernaan atas:
-
Gastritis kronis
-
Gastric Lymphoma
-
Celiac disease
-
Crohn’s disease
P Pengobatan
yang mengurangi keasaman lambung atau yang mengikat besi
Gastrektomi
Patologi
duodenal
Pasien
gagal ginjal kroni
|
C. Manifestasi Klinis
Gejala anemia diantaranya adalah lemas, letih,
pusing, kurang nafsu makan, dan menurunnya kebugaran tubuh. Sedangkan tanda
anemia adalah pucat pada kulit, gusi, mata, dan kuku. Pada beberapa kasus
yang berat terjadi palpilasi dan napas pendek (Ross 2000).
Akan tetapi defisiensi zat besi pada balita tidak
menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar
untuk dideteksi (Wahyuni 2004).
D. Patofisiologi
Anemia gizi besi dimulai dengan deplesi hemosiderin, ferritin, dan
penyimpanan zat besi lainnya yang terdapat dalam sumsum tulang, hepar, dan
limpa. Selanjutnya terjadi pengangkutan zat besi yang berkurang dan
menyebabkan penurunan saturasi transferin zat besi. Pada tahap selanjutnya
terjadi defisit transportasi besi yang khas yang menghambat produksi Hb normal.
Protoporfirin eritrosit meningkat, dan reseptor transferin menjadi lebih
banyak sebagai respon terhadap keadaan zat besi yang buruk (William &
Wilkins 2001).
Menipisnya simpanan zat besi seiring dengan bertambahnya
absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas
pengikatan besi. Habisnya simpanan besi menyebabkan berkurangnya produksi
sel darah merah. Eritrosit mengecil dan terjadi anemia gizi besi (Wirakusumah
1998 diacu dalam Arumsari 2008).
E.
Pengobatan, Perawatan Dan Pencegahan
Menurut WHO
(2011), pencegahan anemia dapat dilakukan dengan:
1.
Meningkatkan asupan zat besi,
dengan cara diet kaya besi, meningkatkan absorpsi besi dan suplementasi zat
besi.
2.
Mengontrol infeksi, dengan cara
imunisasi dan mengontrol penyakit infeksi
3.
Meningkatkan status gizi, dengan
cara mengontrol kekurangan zat gizi seperti vitamin B12, folat, dan vitamin A.
Pengobatan
anemia dapat dilakukan dengan:
1.
Diet kaya besi
2.
Suplemen besi oral
3.
Mengobati penyebab pendarahan abnormal jika diketahi (Corwin 2008).
Suplementasi besi oral dapat menyebabkan mual, muntah, dispesia,
konstipasi, diare, dan feses menjadi gelap. Strategi untuk meminimalisasi efek
tersebut adalah pemberian dosis dimulai dari yang terendah dan ditingkatkan
secara bertahap sampai 4-5 hari. Suplemen besi juga bisa dikonsumsi
bersama makanan (Guidelines & Protocols Advisory Committee of British
Columbia 2010).
Obat dan suplemen bisa mengurangi absorpsi besi dalam tubuh. Absorpsi besi
dapat ditingkatkan dengan memberikan suplemen besi pada saat lambung kosong
(sekitar 1,5-2 jam setelah makan) disertai dengan jus atau vitamin C, tanpa
multivitamin, kalsium dan tablet antasid (Guidelines & Protocols Advisory
Committee of British Columbia 2010).
3. Kurang Vitamin A (KVA)
1.
Definisi
Kekurangan
vitamin A (KVA) merupakan masalah kesehatan utama di negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. KVA terutama sekali mempengaruhi anak kecil,
diantara mereka yang mengalami defisiensi dapat mengalami xerophthalmia dan
dapat berakhir menjadi kebutaan, pertumbuhan yang terbatas, pertahanan tubuh
yang lemah, eksaserbasi infeksi serta meningkatkan resiko kematian. Hal ini
menjadi nyata bahwa KVA dapat terus berlangsung mulai usia sekolah dan remaja
hingga masuk ke usia dewasa (Keith dan West, 2008)
Vitamin A
adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan struktur kimianya disebut
retinol atau retina atau disebut juga dengan asam retinoat, terdapat pada
jaringan hewan dimana retinol 90-95% disimpan pada hati (Haryadi, 2009).
Kekurangan Vitamin A (KVA) adalahpenyakit yang
disebabkanolehkurangnya asupan vitamin A yang memadai. Hal
inidapatmenyebabkanrabunsenja,xeroftalmia danjikakekuranganberlangsungparahdanberkepanjanganakanmengakibatkankeratomalasia(Tadesse,
Lisanu, 2005).
Sedangkan
menurut Arisman tahun 2002, Kurang Vitamin A (KVA) merupakan penyakit
sistemik yang merusak sel dan organ tubuh dan menghasilkan metaplasi keratinasi
pada epitel, saluran nafas, saluran kencing dan saluran cerna. Penyakit Kurang
Vitamin A (KVA) tersebar luas dan merupakan penyebab gangguan gizi yang sangat
penting. Prevalensi KVA terdapat pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Sampai akhir tahun
1960-an KVA merupakan penyebab utama kebutaan pada anak.
2. Fungsi
Vitamin A
1. Penglihatan
Vitamin A
berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Bila kita dari cahaya
terang diluar kemudian memasuki ruangan yang remang-remang cahayanya, maka
kecepatan mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang berhubungan langsung
dengan vitamin A yang tersedia didalam darah. Tanda pertama kekurangan vitamin
A adalah rabun senja. Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki penglihatan yang
kurang bila itu disebabkan karena kekurangan vitamin A (Melenotte et al.,
2012).
2. Pertumbuhan dan Perkembangan
Vitamin A
dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam
pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan
bentuk tulang tidak normal. Pada anak–anak yang kekurangan vitamin A, terjadi
kegagalan dalam pertumbuhannya. Dimana
vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat (TansuÄŸ N, et al.,
2010).
3. Reproduksi
Pembentukan
sperma pada hewan jantan serta pembentukan sel telur dan perkembangan janin
dalam kandungan membutuhkan vitamin A
dalam bentuk retinol. Hewan betina dengan status vitamin A rendah mampu
hamil akan tetapi mengalami keguguran atau kesukaran dalam melahirkan.
Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan
meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga berpengaruh dalam pencegahan
kanker kulit, tenggorokan, paru-paru, payudara dan kandung kemih (Knutson dan
Dame, 2011).
4. Fungsi Kekebalan
Vitamin A
berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia. Dimana kekurangan
vitamin A dapat menurunkan respon antibody yang bergantung pada limfosit yang
berperan sebagai kekebalan pada tubuh seseorang (Almatsier, 2008).
5.Perkembangan Jantung
Defek
kardiak dan cabang aorta diamati sebagai bagian dari sindroma kekurangan
vitamin A. singkat kata, peranan vitamin A dalam perkembangan jantung mamalia
meliputi pembentukan pipa pola jantung
dan lingkaran, ruang dan katup saluran keluar, trabekulasi ventrikel,
diferensiasi kardiomiosit dan pengembangan pembuluh koroner (Knutson dan Dame,
2011).
6. Perkembangan Ginjal dan Saluran Kencing
Kekurangan
vitamin A pada kehamilan dapat berkorelasi dengan kekurangan jumlah nefron
sub-klinis dan sedikit defisit nefron yang tidak disadari pada saat lahir, tapi
mungkin bisa berkontribusi dalam jangka panjang terjadinya gagal ginjal dan
hipertensi (Knutson dan Dame, 2011).
7. Diafragma
Fungsi
diafragma sebagai otot utama respirasi dan sebagai pembatas antara rongga dada
dan perut. Hernia diafragma kongenital (CDH) terjadi pada sekitar satu dari
3000 kelahiran, dan berhubungan dengan kematian neonatal yang tinggi. Vitamin A
sangat penting bagi perkembangan diafragma normal, dan telah disimpulkan bahwa
gangguan sinyal retinoid dapat berkontribusi pada etiologi dari gangguan
manusia (Knutson dan Dame, 2011).
8. Paru dan Saluran Nafas Atas serta Aliran Udara
Defek
Respirasi termasuk agenesis paru kiri, hypoplasia paru bilateral, dan agenesis
esophagotracheal septum digambarkan dalam sindroma KVA awal namun
dikarakteristikkan sebagai kelainan yang jarang terjadi. Paru berkembang dari
foregut endoderm selama perekembangan awal embrio. RA dari mesoderm splanchnic
di sekitar endoderm foregut telah penting ditemukan untuk pembentukan tunas
paru primordial. Sebuah laporan terbaru di New England Journal of Medicine
menunjukkan bahwa, di daerah endemik dengan defisiensi vitamin A (retinol),
anak-anak yang ibunya menerima suplementasi vitamin A sebelum, selama, dan
selama 6 bulan setelah kehamilan memiliki fungsi paru-paru yang lebih baik
ketika mereka diuji pada 9 sampai 11 tahun daripada anak-anak yang ibunya
menerima suplemen beta karoten atau plasebo. Selain itu, mereka menemukan bahwa
periode di mana suplementasi dengan vitamin A yang paling penting adalah dari
kehamilan usia postnatal dari 6 bulan (Knutson dan Dame, 2011).
3.
Penyebab
Terjadinya Kekurangan Vitamin A
Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya cadangan
vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya kadar serum
vitamin A dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik
bagi mata. Vitamin A diperlukan retina mata
untuk pembentukan rodopsin dan pemeliharaan diferensiasi jaringan epitel.
Gangguan gizi kurang vitamin A dijumpai pada anak-anak yang terkait dengan :
kemiskinan, pendidikan rendah, kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan
pro vitamin A (karoten), bayi tidak diberi kolostrum dan disapih lebih awal,
pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin A. Pada anak
yang mengalami kekurangan energi dan protein, kekurangan vitamin A terjadi
selain karena kurangnya asupan vitamin A itu sendiri juga karena penyimpanan
dan transpor vitamin A pada tubuh yang terganggu.
Kelompok umur yang terutama mudah
mengalami kekurangan vitamin A adalah kelompok bayi usia 6-11 bulan dan
kelompok anak balita usia 12-59 bulan (1-5 tahun). Sedangkan yang lebih berisiko
menderita kekurangan vitamin A adalah bayi berat lahir rendah kurang dari 2,5
kg, anak yang tidak mendapat ASI eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2
tahun, anak yang tidak mendapat makanan pendamping ASI yang cukup, baik mutu
maupun jumlahnya, anak kurang gizi atau di bawah garis merah pada KMS, anak
yang menderita penyakit infeksi (campak, diare, TBC, pneumonia) dan kecacingan,
anak dari keluarga miskin, anak yang tinggal di dareah dengan sumber vitamin A
yang kurang, anak yang tidak pernah mendapat kapsul vitamin A dan imunisasi di
posyandu maupun puskesmas, serta anak yang kurang/jarang makan makanan sumber
vitamin A.
Terjadinya kekurangan vitamin A
berkaitan dengan berbagai faktor dalam hubungan yang kompleks seperti halnya
dengan masalah kekurangan kalori protein (KKP). Makanan yang rendah dalam
vitamin A biasanya juga rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antara
hal-hal ini merupakan faktor penting dalam terjadinya kekurangan vitamin A. Kekurangan
vitamin A bisa disebabkan seorang anak kesulitan mengonsumsi vitamin A dalam
jumlah yang banyak, kurangnya pengetahuan orangtua tentang peran vitamin A dan
kemiskinan. Sedangkan untuk mendapatkan pangan yang difortifikasi bukan hal
yang mudah bagi penduduk yang miskin. Karena, harga pangan yang difortifikasi
lebih mahal daripada pangan yang tidak difortifikasi.
Pembedahan pada usus atau pankreas
juga akan memberikan efek kekurangan vitamin A. Bayi-bayi yang tidak mendapat
ASI mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita kekurangan vitamin A , karena
ASI merupakan sumber vitamin A yang baik. Kekurangan vitamin A sekunder dapat
terjadi pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit hati, gangguan
absorpsi karena kekurangan asam empedu (Suhardjo, 2002).
Penyebab lain KVA pada balita
dikarenakan kurang makan sayuran dan buah-buahan berwarna serta kurang makanan
lain sumber vitamin A seperti : daun singkong, bayam, tomat, kangkung, daun ubi
jalar, wortel, daun pepaya, kecipir, daun sawi hijau, buncis, daun katu,
pepaya, mangga, jeruk, jambu biji, telur ikan dan hati. Akibatnya menurun daya
tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Depkes RI, 2005).
4.
Tanda-tanda
dan Gejala Klinis Kekurangan Vitamin A
KVA adalah kelainan sistemik yang
mempengaruhi jaringan epitel dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk
paru-paru, usus, mata dan organ lain. Akan tetapi gambaran gangguan secara
fisik dapat langsung terlihat oleh mata.Kelainan kulit pada umumnya terlihat
pada tungkai baeah bagian depan dan lengan atas bagian belakang, kulit nampak
kering dan bersisik. Kelainan ini selain diebabkan oleh KVA dapat juga
disebabkan kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau KEP.
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul
bila tubuh mengalami KVA yang telah berlangsung lama. gejala tersebut akan
lebih cepat muncul jika menderita penyaki campak, diare, ISPA dan penyakit
infeksi lainnya.Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO sebagai
berikut :
1.
Buta senja = XN. Buta
senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina. Pada keadaan ringan, sel
batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-remang setelah lama berada
di cahaya yang terang. Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita
tidak dapat melihat lingkungan yang kurang cahaya.
2.
Xerosis konjunctiva = XI
A. Selaput lendir mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit kering,
berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
3.
Xerosis konjunctiva dan
bercak bitot = XI B. Gejala XI B adalah tanda-tanda XI A ditambah dengan bercak
bitot, yaitu bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama celah mata sisi
luar. Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan
tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai penentuan
prevalensi kurang vitamin A pada masyarakat. Dalam keadaan berat tanda-tanda
pada XI B adalah, tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjunctiva,
konjunctiva tampak menebal, berlipat dan berkerut.
4.
Xerosis kornea = X2.
Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai kornea, kornea tampak suram dan
kering dengan permukaan tampak kasar.
5.
Keratomalasia dan Ulcus
Kornea = X3 A ; X3 B. Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus.
Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea.Keratomalasia dan tukak kornea
dapat berakhir dengan perforasi dan prolaps jaringan isi bola mata dan
membentuk cacat tetap yang dapat menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat
memburuk dapat mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui
tahap-tahap awal xeroftalmia.
6.
Xeroftalmia Scar (XS) =
jaringan parut kornea. Kornea tampak menjadi putih atau bola mata tampak
mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa
sikatrik atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat
disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.
7.
Xeroftalmia Fundus (XF).
Tampak seperti cendolXN, XI A, XI B, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal
dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat
yang harus segera diobati karena dalam beberapa hari bisa menjadi
keratomalasia. X3A dan X3 B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan
meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi pada
kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea.Prinsip dasar untuk mencegah
xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan vitamin A yang cukup untuk tubuh serta
mencegah penyakit infeksi. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum
(Wardani, 2012).
5.
Akibat Kekurangan Vitamin A
Tubuh memerlukan asupan
vitamin yang cukup sebagai zat pengatur dan memperlancar proses metabolisme
dalam tubuh. Sebagai vitamin yang larut dalam lemak, vitamin A membangun
sel-sel kulit dan memperbaiki sel-sel tubuh, menjaga dan melindungi mata,
menjaga tubuh dari infeksi, serta menjaga pertumbuhan tulang dan gigi. Karena
fungsi tersebut, vitamin A sangat bagus dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan anak. Vitamin A juga berperan dalam epitil, misalnya pada epitil
saluran pencernaan dan pernapasan serta kulit. Vitamin A berkaitan erat dengan
kesehatan mata. Vitamin A membantu dalam hal integritas atau ketahanan retina
serta menyehatkan bola mata. Vitamin A fungsinya tak secara langsung mengobati
penderita minus, tapi bisa menghambat minus. Kekurangan vitamin A menyebabkan
mata tak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan cahaya yang masuk dalam
retina. Sebagai konsekuensi awal terjadilah rabun senja, yaitu mata sulit
melihat kala senja atau dapat juga terjadi saat memasuki ruangan gelap. Bila
kekurangan vitamin A berkelanjutan maka anak akan mengalami xerophtalmia yang
mengakibatkan kebutaan. Selain itu kekurangan vitamin A menyebabkan tubuh
rentan terhadap infeksi bakteri dan virus. Tanpa vitamin A, sistem pertahanan
tubuh akan hilang.Ini memicu tubuh rentan terserang penyakit.
Vitamin A bisa terserap
dalam tubuh yang kondisinya baik. Anak usia balita sangat rentan kekurangan
vitamin A karena kondisi tubuhnya rentan terhadap penyakit, seperti diare atau
infeksi pencernaan. Untuk itu peran ibu sangat penting dalam menjaga ketahanan
tubuh bayi yakni dengan memberikan ASI eksklusif, agar mempunyai ketahanan tubuh
yang cukup.Kebutuhan vitamin A yang cukup dalam tubuh, dapat diketahui dengan
cara menganalisis makanan yang dikonsumsi sehari-hari dan melihat kondisi
tubuh. Jika tubuh anak sering terkena penyakit, seperti diare, busung lapar
atau gangguan saluran pernapasan, maka secara otomatis, asupan vitamin A-nya
kurang (Zulkarnaen, 2012).
Selain itu, dampak kekurangan Vitamin A bagi balita antara
lain:
1.
Hemarolopia atau kotok ayam (rabun senja).
2.
Frinoderma, pembentukan epitelium kulit tangan
dan kaki terganggu, sehingga kulit tangan dan kaki bersisik.
3.
Pendarahan pada selaput usus, ginjal dan
paru-paru.
4.
Kerusakan pada bagian putih mata mengering dan
kusam (Xerosis konjungtiva), bercak seperti busa pada bagian putih mata (bercak
bitot), bagian kornea kering dan kusam (Xerosis kornea), sebagian hitam mata
melunak ( Keratomalasia ), Seluruh kornea mata melunak seperti bubur (Ulserasi
Kornea) dan Bola mata mengecil / mengempis (Xeroftahalmia Scars).
5.
Terhentinya proses pertumbuhan.
6.
Terganggunya pertumbuhan pada bayi.
7.
Mengakibatkan campak yang berat yang
berkaitan dengan adanya komplikasi pada anak-anak serta menghambat penyembuhan.
(Melenotte et al,2012)
Namun demikian perlu juga diperhatikan bahwa pemberian
dosis Vitamin A yang terlalu tinggi
dalam waktu yang lama dapat menimbulkan akibat yang kurang baik antara
lain:
1. Hipervitaminosis A pada
anak-anak dapat menimbulkan anak tersebut cengeng, pada sekitar tulang yang
panjang membengkak, kulit kering dan gatal-gatal.
2. Hipervitaminosis pada
orang dewasa menimbulkan sakit kepala, mual-mual dan diare. (Sugiarno,
2010).
6. Pencegahan dan Penanggulangan
Kekurangan Vitamin A
Vitamin A adalah salah satu zat gizi
dari golongan vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk
kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meni
ngkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit misalnya campak, diare, dan
penyakit infeksi lain) (Depkes RI, 2009)
Pada ibu hamil dan menyusui, vitamin
A berperan penting untuk memelihara kesehatan ibu selama masa kehamilan dan
menyusui. Buta senja pada ibu menyusui, suatu kondisi yang kerap terjadi karena
kurang vitamin A (KVA). Berhubungan erat pada kejadian anemia pada ibu,
kekurangan berat badan, kurang gizi, meningkatnya resiko infeksi dan penyakit
reproduksi, serta menurunkan kelangsungan hidup ibu hingga dua tahun setelah
melahirkan (Dinkes Jateng, 2007)
Semua anak,
walaupun mereka dilahirkan dari ibu yang berstatus gizi baik dan tinggal di
Negara maju, terlahir dengan cadangan vitamin A yang terbatas dalam tubuhnya
(hanya cukup memenuhi kebutuhan untuk sekitar dua minggu). Di Negara
berkembang, pada bulan-bulan pertama kehidupannya, bayi sangat bergantung pada
vitamin A yang terdapat dalam ASI. Oleh sebab itu, sangatlah penting bahwa ASI
mengandung cukup vitamin A. Anak-anak yang sama sekali tidak mendapatkan ASI
akan beresiko lebih tinggi terkena Xeropthalmia dibandingkan dengan anak-anak
yang mendapatkan ASI walau hanya dalam jangka waktu tertentu. Berbagai studi
yang dilakukan mengenai vitamin A ibu nifas memperlihatkan hasil yang
berbeda-beda.
Anak-anak
usia enam bulan yang ibunya mendapatkan kapsul vitamin A setelah melahirkan,
menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah kasus demam pada anak-anak tersebut
dan waktu kesembuhan yang lebih cepat saat mereka terkena ISPA. Ibu hamil dan
menyusui seperti halnya juga anak-anak, berisiko mengalami KVA karena pada masa
tersebut ibu membutuhkan vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan
produksi ASI.
Upaya
meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui proses Komunikasi
Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman. Namun disadari bahwa
penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan
konsumsi kapsul vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu
penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A
dosis tinggi.
a. Bayi umur
6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis 100.000 SI (warna
biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan
Agustus.
b. Anak balita
umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan dosis 200.000 SI (warna
merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan
Agustus.
c. Ibu nifas,
paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu kapsul vitamin A dosis
200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi memperoleh vitamin A yang
cukup melalui ASI (Depkes RI, 2009).
d. Wanita hamil
: suplemen vitamin A tidak direkomendasikan selama kehamilan sebagai bagian
dari antenatal care rutin untuk mencegah maternal and infant morbidity dan
mortality. Namun, pada daerah dimana terdapat masalah kesehatan publik yang
berat yang berkaitan dengan kekurangan vitamin A, maka suplementasi vitamin A direkomendasikan untuk mencegah rabun
senja. Secara khusus, wanita hamil dapat mengkonsumsi hingga 10,000 IU vitamin
A setiap harinya atau vitamin A hingga 25,000 IU setiap minggu. Suplementasi
dapat dilanjutkan hingga 12 minggu selama kehamilan hingga melahirkan. Hal ini
perlu ditekankan bahwa WHO mengidentifikasi populasi berisiko sebagai mereka
yang prevalensi menderita rabun senja ≥5% pada wanita hamil atau ≥5% pada anak – anak yang berusia 24–59
bulan.( McGuire, 2012)
e. Ibu nifas:
suplementasi vitamin A pada ibu nifas tidaklah direkomendasikan untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas pada ibu dan
bayi. ( McGuire S. 2012)
Kekurangan makan makanan bergizi yang
berlarut-larut, selain membuat orang menjadi kurus juga kekurangan
vitamin-vitamin, termasuk kekurangan vitamin A. penyakit usus yang menahun akan
mengakibatkan penyerapan vitamin A dari usus terganggu. Untuk melakukan pengobatan
harus berobat pada dokter dan biasanya dokter akan memberikan suntikan vitamin
A setiap hari sampai gejalanya hilang. Untuk mencegah kekurangan vitamin A
makanlah pepaya, wortel dan sayur-sayuran yang berwarna (Hassan, 2008).
Program nasional pemberian suplemen vitamin
A adalah upaya penting untuk mencegah kekurangan vitamin A di antara anak-anak
Indonesia. Tujuan Program ini adalah untuk mendistribusikan kapsul vitamin A
pada semua anak di seluruh wilayah Indonesia dua kali dalam satu tahun. Setiap Februari
dan Agustus, kapsul vitamin A didistribusikan secara gratis kepada semua anak
yang mengunjungi Posyandu dan Puskesmas. Vitamin A yang terdapat dalam kapsul
tersebut cukup untuk membantu melindungi anak-anak dari timbulnya beberapa
penyakit yang pada gilirannya akan membantu menyelamatkan penglihatan dan
kehidupan mereka ( Maryam, 2010 ).
Pemberian vitamin A akan memberikan
perbaikan nyata dalam satu sampai dua minggu. Dianjurkan bila diagnosa
defisiensi vitamin A ditegakkan maka berikan vitamin A 200.000 IU peroral dan
pada hari kesatu dan kedua. Belum ada perbaikan maka diberikan obat yang sama
pada hari ketiga. Biasanya diobati gangguan proteinkalori mal nutrisi dengan
menambah vitamin A, sehingga perlu diberikan perbaikan gizi.
4. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY)
A.
Definisi
Gangguan
akibat kekurangan yodium (GAKY) adalah rangkaian efek kekurangan yodium pada
tumbuh kembang manusia. Spektrum seluruhnya terdiri dari gondok dalam berbagai
stadium, kretin endemik yang ditandai terutama oleh gangguan mental, gangguan
pendengaran, gangguan pertumbuhan pada anak dan orang dewasa. (Supariasa,
2002).
B.
Etiologi
GAKY dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain:
1.
Defisiensi Iodium dan Iodium Excess
Defisiensi iodium merupakan sebab pokok terjadinya masalah GAKI. Hal
ini disebabkan karena kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi fisiologis
terhadap kekurangan unsur iodium dalam makanan dan minuman yang dikonsumsinya. Iodium Excess terjadi
apabila iodium yang dikonsumsi cukup besar secara terus menerus, seperti yang
dialami oleh masyarakat di Hokaido (Jepang) yang mengkonsumsi ganggang laut
dalam jumlah yang besar. Bila iodium dikonsumsi dalam dosis tinggi akan
terjadi hambatan hormogenesis, khususnya iodinisasi tirosin dan proses coupling.
Lokasi (Geografis dan non geografis)
Faktor
lokasi dapat berpengaruh terhadap kejadian GAKY, hal ini disebabkan kandungan
yodium yang berbeda di setiap daerah. Penderita GAKY secara umum banyak
ditemukan di daerah perbukitan atau dataran tinggi, karena yodium yang berada
dilapisan tanah paling atas terkikis oleh banjir atau hujan dan berakibat
tumbuh-tumbuhan, hewan dan air di wilayah ini mengandung yodium rendah bahkan
tidak ada.
2.
Asupan
Energi dan Protein
Gangguan akibat kekurangan yodium secara tidak langsung
dapat disebabkan oleh asupan energi yang rendah, karena kebutuhan energi akan
diambil dari asupan protein. Protein (albumin, globulin, prealbumin) merupakan
alat transport hormon tiroid. Protein transport berfungsi mencegah hormon
tiroid keluar dari sirkulasi dan sebagai cadangan hormon.
Dengan adanya defisiensi protein dapat berpengaruh
terhadap berbagai tahap dalam sintesis hormon tiroid terutama tahap
transportasi hormone (Djokomoelyanto, 1994).
3.
Pangan
Goitrogenik
Zat goitrogenik adalah senyawa yang dapat mengganggu
struktur dan fungsi hormon tiroid secara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung zat goitrogenik menghambat uptake yodida anorganik oleh kelenjar
tiroid. Seperti tiosianat dan isotiosianat menghambat proses tersebut karena
berkompetisi dengan yodium.
Ada dua jenis zat goitrogenik yang berasal dari bahan
pangan yaitu:
a.
Tiosianat terdapat dalam sayuran
kobis, kembang kol, sawi, rebung, ketela
rambat dan jewawut, singkong
b.
Isotiosianat terdapat pada kobis.
Berdasarkan mekanis kerjanya, zat
goitrogenik dipengaruhi oleh proses sintesis hormon dan kelenjar tiroid trhadap
bahan – bahan goitrogenik. Bahan tersebut adalah:
a.
Kelompok tiosianat, dimana mekanisme
kerjanya memperngaruhi transportasi yodium.
Misalnya :
rebung, ubi jalar.
b.
Kelompok tiroglikosid, dimana
mekanisme kerjanya mempengaruhi oksidasi, organofikasi, dan coupling.
Misal: bawang merah, bawang putih, bassica dan
yellow turnips.
c.
Kelompok akses iodida, dimana
mekanisme kerjanya mempengaruhi protealisis, pelepasan, dan
halogenasi misalnya gangguan asupan yodium lebih dari 2 gram sehari, akan
menghambat sintesis dan pelepasan hormon (Djokomoelyanto, 1994).
4.
Genetik
Faktor genetik dalam hal ini
merupakan variasi individual terhadap kejadian GAKY dan mempunyai kecenderungan
untuk mengalami gangguan kelenjar tiroid. Faktor genetic banyak disebabkan
karena keabnormalan fungsi faal kelenjar tiroid.
Penyebab genetic lain adalah
sejumlah cact metabolic yang diturunkan, yang melukiskan kepentingan berbagai
tahapan dalam biosintesis hormon tiroid. Cacat ini adalah cacat pada
pengangkutan yodium, cacat pada iodinasi, cacat perangkaian, defisiensi
deiodinasi, dan produksi protein teriodinasi yang abnormal.
C.
Perjalanan Penyakit
Gangguan karena kekurangan iodium tidak bergantung
usia, seluruh usia dapat mengalami penyakit ini, mulai dari bayi, anak-anak,
remaja, dewasa, hingga orang tua. Perjalanan penyakit ini termasuk lambat,
karena dalam tubuh terdapat suatu sistem cadangan iodium yang dapat digunakan
selama 2-3 bulan baru iodium itu akan habis (Guyton, 2008). Setelah cadangan
iodium itu habis, barulah timbul manifestasi gangguan akibat kekurangan iodium
misalnya pembesaran kelenjar tiroid. Awalnya kelenjar tiroid tidak besar dan
tidak terlihat tetapi lama kelamaan perbesaran kelenjar tiroid semakin tampak.
Pada tingkat ringan atau sedang, penyakit ini dapat diatasi dengan pemberian
iodium. Apabila sudah parah dan dengan pemberian iodium tidak menunjukan
perbaikan, maka perlu dilakukan tindak pembedahan(Guyton, 2008). Penyakit ini
sangat kecil kemungkinan menyebabkan kematian, dampak yang paling mengganggu
dari penyakit ini adalah bahwa penyakit ini dapat menurunkan tingkat kecerdasan
dan produktivitas kerja seseorang yang berdampak pada sosial ekonomi seseorang
yaitu meningkatnya kebodohan dan kemiskinan dalam masyarakat (Wiwanitkit,
2007).
D.
Daerah
Endemik Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY)
Istilah gondok endemik/endemik gondok digunakan jika
suatu daerah/wilayah ditemukan banyak penduduk dengan mengalami pembesaran. Kelenjar
gondok. Bila > 10 % penduduk di suatu daerah menderita pembesarankelenjar
gondok, maka daerah tersebut merupakan daerah endemik gondok.
1.
Daerah endemik gondok adalah suatu
daerah / wilayah yang berdasarkan data Nasional dikategorikan sebagai gondok
endemik berat.
2.
Daerah non endemik gondok adalah
suatu daerah / wilayah yang berdasarkan data Nasional tidak dikategorikan
sebagai gondok endemik berat. Klasifikasi daerah endemik gondok adalah sebagai
berikut:
a.
Endemik Gondok Ringan : 10 - 19 %
penduduknya mengalami pembesaran kelenjar gondok
b.
Endemik Gondok Sedang : 20 - 29 %
penduduknya mengalami pembesaran kelenjar gondok
c.
Endemik Gondok Berat : > 30 %
penduduknya mengalami pembesaran kelenjar gondok
Daerah yang banyak dijumpai penderita gondok adalah daerah-daerah yang
terpencil, di gunung dan jauh dari laut. Secara geografis di derita oleh
penduduk yang mendiami 3 macam daerah, antara lain:
1.
Daerah pegunungan
2.
Daerah yang belum lama berselang
ditutupi es
3.
Daerah dimana air minum penduduk
bersumber dari batu kapur (Joko Moelyanto, 1990).
E.
Gejala Gangguan
akibat kekurangan yodium (GAKY)
1.
Reterdasi mental
2.
Gangguan pendengaran
3.
Gangguan bicara
4.
Hipertiroid (Pembesaran Kelenjar
Tiroid/Gondok)
5.
Kretinisme biasanya pada anak-anak
F.
Program Penanggulangan Gangguan
akibat kekurangan yodium (GAKY)
Tujuan utama program penanggulangan GAKY :
1.
Menurunkan angka gondok total/TGR.
2.
Mencegah munculnya kasus kretin pd
bayi baru lahir di daerah endemik sedang dan berat.
Dengan cara
:
1.
Distribusi kapsul yodium pada
kelompok sasaran yg berisiko.
2.
Peningkatan pengadaan garam
beryodium.
3.
Pemantauan status yodium di
masyarakat.
4.
Pemantapan koordinasi lintas sektor
dan penguatan kelembagaan penanggulangan GAKY.
5. Cacingan
A.
Definisi
Penyakit kecacingan
erat hubungannya dengan kebiasaan hidup sehari-hari. Penyakit kecacingan
biasanya tidak menyebabkan penyakit yang berat dan angka kematian tidak terlalu
tinggi namun dalam keadaan kronis pada anak dapat menyebabkan kekurangan gizi
yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan pada akhirnya akan menimbulkan
gangguan pada tumbuh kembang anak. Khusus pada anak usia sekolah, keadaan ini
akan mengakibatkan kemampuan mereka dalam mengikuti pelajaran akan menjadi
berkurang (Safar, 2010).
Ascaris lumbricoides merupakan
cacing bulat besar yang biasanyabersarang dalam usus halus. Adanya cacing
didalam usus penderita akan mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang
normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan
peristaltik dan penyerapan makanan.
Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruhdunia,
lebih banyak di temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa daerah
tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Pada umumnya lebih banyak
ditemukan pada anak-anak berusia 5 – 10 tahun sebagai host (penjamu) yang juga
menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi (Haryanti, E, 1993).
Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karenaaktivitas
otot-otot ini. Jika otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat
antelmintik, cacing akan dikeluarkan dengan pergerakan peristaltik normal.
Tantular, K (1980) yang dikutip oleh Moersintowarti. (1992) mengemukakan bahwa
20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa didalam usus manusia mampu
mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap
hari.Dari hal tersebut dapat diperkirakan besarnya kerugian yang disebabkan
oleh infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan
keadaan kurang gizi (malnutrisi).
B.
Etiologi
1.
Umur
Umur balita terendah 1 tahun, tertinggi 4 tahun dengan
rata-rata 2,76. Frekuensi terbanyak pada umur 3 tahun yaitu senbanyak 49,1%.
2.
Jenis Kelamin
Distribusi anak menurut jenis kelamin hampir berimbang
walaupun lebih banyak anak laki- laki dari pada perempuan.
3.
Kebiasaan Mencuci Tangan
Mencuci tangan adalah aktifitas yang dilakukan sebelum
makan, setelah bermain dan setelah BAB, berdasarkan hasil penelitian dari 54
anak hanya 3,7% yang terbiasa melakukan kebiasaan mencucitangan.
4.
Kebiasaan Memakai Alas Kaki
Kebiasaaan memakai alas kaki adalah kebiasaan anak
memakai sandal atau sepatu setiap bermain didalam dan diluar rumah. berdasarkan
hasil penelitian dari 54 anak hanya 1,9% yang terbiasa memakai alas kaki.
5.
Kebersihan Kuku
Kebersihan kuku aktifitas yangdilakukan dengan
memangkas dan memotong kuku satu minggu sekali dan membersihkan sela-sela kuku
setiap mencuci tangan. Berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak sebanyak 88,9%
memiliki kuku kotor.
6.
Kebiasaan Bermain ditanah
Bermain ditanah adalah aktifitas fisik yang
mengakibatkan tangan, kuku, kaki dan kulit kontak langsungdengan
tanah,berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak sebanyak 98,1% terbiasa bermain
ditanah.
7.
Kepemilikkan Jamban
Kepemilikkan jamban tempat untuk BAB bagi keluarga
yangmerupakan milik keluarga yang memenuhi syarat kesehatan, berdasarkan hasil
penelitian dari 54 keluarga sebanyak 94,4% memiliki jamban.
8.
Lantai Rumah
Lantai rumah mencakup bahan yang digunakan sebagai
lantai rumah yang terbuat dari bahan yang kedap air. Berdasarkan hasil
penelitian dari 54 anak sebanyak 87% yang lantai rumahnya kedap air.
9.
Ketersediaan Air Bersih Mencakup
kecukupan air yangmemenuhi syarat air bersih yaitu tidak berbau,berasa, dan
tidak berwarnauntuk kebutuhan hidup sehari-hari Berdasarkan hasil penelitian
dari 54 anak 100% mempunyai ketersediaan air bersih.
C.
Patofisiologi
Manusia merupakan satu-satunya
hospes definitif Ascaris lumbricoides,jika tertelan telur yang infektif, maka
didalam usus halus bagian atas telur akan pecah dan melepaskan larva infektif
dan menembus dinding usus masuk kedalam vena porta hati yang kemudian bersama
dengan aliran darah menuju jantung kanan dan selanjutnya melalui arteri
pulmonalis ke paru-paru dengan masa migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari.
Dalam paru-paru larva tumbuh dan
berganti kulit sebanyak 2 kali,kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus
dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke
faring, berpindah ke osepagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglottis
masuk kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus halus
bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing
dewasa kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.
Siklus hidup cacing ascaris mempunyai
masa yang cukup panjang, dua bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing
betina mulai mampu mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya,
waktu yang diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif.
MenurutMenurut penelitian stadium
ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar bersama tinja manusia
dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I sampai stadium III
yang bersifat infektif. Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan
dapat tetap hidupbertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik,
anak-anak terkena infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing
keluar, yanglain menjadi dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang
cukup besar dan dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar
dimana- mana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila
makanan atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh
maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi
cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan
yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.
D.
Tanda dan Gejala
Lesu, tidak bergairah, konsentrasi
belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,, prestasi kerja menurun, dan anemia
merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di samping itu juga
terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)
E.
CARA PENCEGAHAN
1.
Berikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menggunakan fasilitas jamban
yang memenuhi syarat kesehatan.
2.
Sediakan fasilitas yang cukup memadai untuk pembuangan kotoran yang layak
dan cegah kontaminasi tanah pada daerah yang berdekatan langsung dengan rumah,
terutama di tempat anak bermain.
3.
Di daerah pedesaan, buatlah jamban umum yang konstruksinya sedemikian rupa
sehingga dapat mencegah penyebaran telur Ascaris melalui aliran air, angin, dan
lain-lain. Kompos yang dibuat dari kotoran manusia untuk digunakan sebagai
pupuk kemungkinan tidak membunuh semua telur.
4.
Dorong kebiasaan berperilaku higienis pada anak-anak, misalnya ajarkan
mereka untuk mencuci tangan sebelum makan dan menjamah makanan.
5.
Di daerah endemis, jaga agar makanan selalu ditutup supaya tidak terkena
debu dan kotoran. Makanan yang telah jatuh ke lantai jangan dimakan kecuali
telah dicuci atau dipanaskan.
6.
Meningkatkan pengetahuan masyarakat
melalui penyuluhan kesehatan untuk mencegah terjadinya
pencemaran/kontaminasi tinja terhadap tanah, air, makanan dan pakan ternak
dengan cara mencegah penggunaan air limbah untuk irigasi; anjurkan untuk
memasak daging sapi atau daging babi secara sempurna.
7.
Lakukan diagnosa dini dan pengobatan
terhadap penderita. Lakukan kewaspadaan enterik pada institusi dimana
penghuninya diketahui ada menderita infeksi T. solium untuk mencegah
terjadinya cysticercosis. Telur Taenia
solium sudah infektif segera setelah keluar melalui tinja penderita dan
dapat menyebabkan penyakit yang berat pada manusia. Perlu dilakukan tindakan
tepat untuk mencegah reinfeksi dan untuk mencegah penularan kepada kontak.
8.
Daging sapi atau daging babi yang dibekukan pada suhu di bawah minus 5oC
(23oF) selama lebih dari 4 hari dapat membunuh cysticerci. Radiasi
dengan kekuatan 1 kGy sangat efektif.
9.
Pengawasan terhadap bangkai sapi atau bangkai babi hanya dapat mendeteksi
sebagian dari bangkai yang terinfeksi; untuk dapat mencegah penularan harus
dilakukan tindakan secara tegas untuk Membuang bangkai tersebut dengan cara
yang aman, melakukan iradiasi atau memproses daging tersebut untuk dijadikan
produk yang masak.
10. Jauhkan ternak babi kontak dengan
jamban dan kotoran manusia.
6. Makanan Per Enteral
A.
Enteral Feeding
B.
Formula Enteral
C.
Nutrisi Enteral Sistem Delivery
D.
Alternatif Pemberian Rutin Fomula
7. Makanan Parenteral
A.
Makanan Parenteral Nutrisi Klinik
B.
Sistem Pemberian Nutrisi Parenteral
C.
Dukungan Keluarga Pada Pemberian
Makan Di Rumah
DAFTAR PUSTAKA
Pudjiadi, Solihin. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak, Edisi IV.
Jakarta: FKUI.
Markum. 1996. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I.
Jakarta: FKUI.
Ignatius,2008. http://www.KEKURANGAN KALORI PROTEIN _ IGNATIUS PURWO.blogspot.com.
Almatsier.
2006. Prinsip Ilmu Gizi. Jakarta :
Erlangga
Mariyah, 2011. http://www.Super Nutrition-ANEMIA GIZI BESI.blogspot.com
Arisman. 2002. Gizi dalam daur kehiduan.Bagian Ilmu Gizi
Fakultas Kedokteran Universitas Palembang. Proyek peningkatan Penelitian
Pendidikan Tinggi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
Haeruddin, 2014. http://www.Makalah Kekurangan Vitamin A (KVA) _ Artikel
Kesmas.blogspot.com
Bambang Wirjatmadi, Merryana Adriani. 2012, Pengantar Gizi
Masyarakat. Jakarta: kencana, cetakan peretama.
Iron Strike Titanium Max Trimmer - TITANIAN ART
BalasHapusIron Strike Titanium Max Trimmer. everquest: titanium edition Stainless mokume gane titanium Steel, 5-10x40-3.5 inch, 8-16oz. In this nano titanium babyliss pro case, titanium mesh the handle is secured by the tip titanium easy flux 125 amp welder of the blade.